Pada bulan ini kita mendengarkan berita-berita pengeboman yang merenggut jiwa ratusan orang. Tanggal 7 Juli terjadi pengeboman di subway kota London, beberapa hari kemudian terjadi serangkaian bom juga di kota yang sama, kemudian disusul dengan pengeboman di Sharm el-Sheikh yang merenggut nyawa sedikitnya 88 orang. Hingga saya menulis ini hampir semua sumber informasi menuding Taliban dibalik serangkaian peristiwa ini. Padahal kota London dikenal sebagai kota yang paling ramah dengan umat Muslim di Eropa , dan Sharm el-Sheikh merupakan kawasan wisata favorit di Laut Merah, lokasi tersebut sering dipakai sebagai lokasi konferensi dan pertemuan damai antara para pemimpin Timur Tengah dan negara-negara Barat. Pertanyaannya apa yang sedang dicari pelaku pengeboman itu?
Agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan, tetapi tafsiran pada agama sering justru menghasilkan kejahatan. Sehingga, seseorang yang mengatasnamakan agama dalam perilakunya sering tak pernah ada kesadaran bahwa perbuatan yang dilakukan adalah sebuah kejahatan. Lebih jauh lagi, ada suatu keyakinan yang ditekaankan dalam beberaga agama bahwa kematian akibat sesuatu dilakukannya atas nama Tuhan justru akan menghantar mereka menuju surga.
Dalam Berita Utama Kompas tanggal 9 Oktober 2003 diberitakan begitu dijatuhi hukuman mati di depan sidang kasus bom Bali Imam Samudra, langsung memekikkan gema takbir "Allahu Akbar, Allahu Akbar". Tidak pernah ada sikap atau perasaan menyesal sekalipun dari Imam Samudra atas perbuatan yang telah dilakukannya. Sebelum meninggalkan ruang sidang, Imam Samudra kembali meneriakkan takbir dan mengacungkan jempolnya kepada pewarta foto.
Lebih lanjut, Kompas tanggal 11 Oktober 2003 menulis Abdul Azis alias Imam Samudra (33) mengaku bahwa dirinya sama sekali tak gentar atau takut menghadapi ancaman hukuman mati. "Saya tidak takut dihukum mati, karena apa yang selama ini saya lakukan telah berada di jalan Allah, dan sesuai dengan ajaran Islam," kata Imam Samudra saat menyampaikan pledoinya. Namun demikian, Imam mengakui pada kenyataannya memang ada kaum muslim dan orang Indonesia yang lain, yang juga ikut menjadi korban dari ledakan bom di Kuta. "Untuk ini, saya mohon maaf," tambahnya.
Dengan mudah Imam Samudra meminta maaf bagi orang-orang yang ikut jadi korban, seolah-olah itu sudah merupakan harga yang wajar untuk sebuah perjuangan. Ini adalah sebuah titik balik kehidupan di mana kemanusiaan telah mati. Manusia sudah mencapai suatu pemahaman bahwa surga bisa dicapainya melalui perjuangan-perjuangan yang mengorbankan nyawa orang lain. Kebaikan jenis ini sudah sampai pada titik dimana kemanusiaan tidak berarti apa-apa lagi. Semua agama pada dasarnya begitu lekat dengan sisi kemanusiaan, tetapi seiring perjalanan waktu, tafsir-tafsir pada ayat-ayat Kitab Suci acapkali membuat sisi kemanusiaan lenyap dari agama.
Tahun lalu teman saya masuk penjara imigrasi di Amerika Serikat, secara kebetulan pada hari yang sama saya bertemu dengan seorang ibu tokoh gereja yang saya kagumi. Kemudian saya jelaskan bahwa teman saya masuk penjara, untuk mengeluarkannya dibutuhkan uang $15.000 padahal dia tidak punya keluarga di sini. Tidak duga, ibu tersebut memberikan respons yang membuat saya kaget, dia katakan bahwa memang sudah sewajarnya kalau melanggar peraturan negara akibatnya masuk penjara. Yang penting bukan untuk mengeluarkannya dari penjara, tetapi pertobatannya yang penting, bubuhnya. Tanpa sedikitpun sedih atau iba dengan nasib yang dialami teman saya.
Bila hati nurani sudah hilang maka manusia tidak lebih sebagai boneka yang sedang dimainkan dalam drama kemanusiaan yang mati. Bila Tuhan hanya ditempatkan sebagai objek telaah teologi maka Tuhan hanya sebatas ilusi. Ilusi inilah yang menafsirkan tuhan-tuhan transenden yang kosong. Manusia hanya dapat menemukan Tuhan bila menyatu dengan hidup sesamanya dalam konteks kemanusiaan.
Monday, July 25, 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment