Ads 468x60px

Wednesday, October 19, 2005

Ekstrimitas akibat Frustrasi Sosial

Dalam setiap agama terdapat celah-celah paradoks dan kontroversi yang bisa dimanfaatkan kaum ekstremis. Sehingga beragama umat manusia sebaiknya tidak mengusung paradoks dan kontroversi itu, sebaliknya mencari persamaan dan titik temu agama yang satu dengan agama yang lain, dan titik temu itu berada pada dimensi kemanusiaan. Ideologi yang mengandalkan massa mayoritas yang selalu mengklaim direstui atau mengatasnamakan "Allah" untuk menghukum orang dan kelompok lain mengakibatkan Indonesia tidak pernah mentas ke alam demokrasi "ideal".
Dapat dimengerti bahwa terjadinya penutupan rumah ibadah oleh sekelompok masyarakat adalah indikasi frustrasi sosial. Rakyat merasa bahwa pemerintah gagal untuk menegakkan hukum dengan melihat mandeknya saluran peradilan di negeri ini. Rakyat kemudian merasa berkewajiban untuk menegakkannya sendiri pemberantaan korupsi dan kegagalan pemerintah lainnya. Padahal, premanisme berjubah agama yang sekarang merajalela di Indonesia tidak akan membawa Indonesia ke masa depan yang gemilang, melainkan akan tetap terpuruk dalam keterbelakangan dan lingkaran setan, korupsi, kudeta, kolusi lagi, kudeta lagi.
Thariq bin Ziyad dari Turki pada pemerintahan Ottoman, panglima Islam pertama yang menaklukkan Eropa, misalnya, melarang keras tentaranya menghancurkan gereja dan kuil Yahudi di daerah taklukan. Itulah sebabnya, ketika mereka menaklukan Eropa, banyak warga Eropa yang simpati kepada tentara Islam. Hal itu dilakukan pasukan Tharik yang baragama muslim. Sisa-sisa kejayaan Islam di Eropa masih dapat di saksikan di Turki dan di Spanyol.
Beberapa penutupan rumah ibadah, apakah itu gereja atau masjid milik salah satu aliran agama Islam, menunjukkan kedangkalan tingkat pemahaman agama yang dianut yang bersangkutan dan cenderung indikasi kelemahan intelektual. (Kalau otakmu lemah, keraskan ototmu). Ekstrimitas sebetulnya menunjukkan kementahan jiwa dan intelektual seseorang sebab ekstrimitas tidak pernah memecahkan masalah. Berpikir ekstrim adalah cara berpikir satu arah dan mengabaikan pikiran-pikiran orang lain. Padahal untuk mencari solusi suatu masalah, kita perlu menampung pikiran-pikiran orang lain.

Wapres-ku yang lucu

Memang menghadapi kenaikan BBM saat ini dibutuhkan kesabaran dan ketakwaan tinggi, tetapi disamping itu juga dibutuhkan orang-orang yang humoris yang dapat membuat urat saraf rakyat sedikit rileks. Walapun terkesan bodor, kocak dan bodoh, sedikitnya komentar-komentar mereka telah memberikan 'pelipur lara' pada rakyat yang semakin hari semakin berat beban yang ditanggungnya. Tidak tanggung-tanggung Wakil Presiden Republik Indonesia ternyata mengerti butuhnya dagelan yang lebih banyak di negeri ini. Berikut komentar-komentar beliau"
 
Liputan6.com: Wakil Presiden Jusuf Kalla mengaku tidak begitu pusing dengan kelangkaan elpiji yang terjadi di berbagai daerah. Sebaliknya, Kalla melihat kelangkaan tersebut sebagai suatu pertanda baik. "Berarti sudah ada perubahan pola konsumsi masyarakat, dari minyak tanah ke elpiji. Itu pertanda bagus," paparnya di Istana Wakil Presiden Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (14/10) siang.
 
Lucu kan ? Nih yang berikut:
Pemerintah menegaskan bahwa organisasi bernama Jemaah Islamiyah tidak pernah ada di Indonesia. Wakil Presiden Kusuf Kalla mengatakan, organisasi itu juga terkesan tidak memiliki bentuk yang jelas.  "Jadi bagaimana membubarkannya?" kata Wapres di Jakarta, Minggu (9/10), menanggapi permintaan Perdana Menteri Australia John Howard agar Indonesia menyatakan Jemaah Islamiyah sebagai organisasi terlarang.
 
Mungkin doi ingin supaya rakyat jangan panik (barangkali). Padahal menurut pemberitaan Detik.com  Jamaah Islamiyah dikomandoi dari Istana, walaupun info Detik.com masih bisa diperdebatkan, tetapi yang pasti Wapres telah memberikan komentar-komentar yang lucu pada rakyat.
 
Memang negeri ini butuh lebih banyak komedi dibandingkan politisi!
 

 

Keheningan

 

"Keheningan memberi kita satu pandangan baru tentang segala sesuatu. 
Kita membutuhkan keheningan untuk menyentuh hati."  
Bunda Teresa  dalam buku Wahyudin, Bidadari dari Kalkuta  
(2004), hal 177.

 

Saturday, October 08, 2005

Dampak Dana Konpensasi BBM

Minggu ini saya membaca buku Nutrition : Diet and Theraupetic yang menjadi textbook untuk mata kuliah Nutrisi. Pada bab tentang Diabetes dijelaskan bahwa penduduk Indian Azores di Arizona merupakan komunitas yang paling tinggi persentasinya mengidap penyakit diabetes, sekitar 90%. Data ini bertolak belakang dengan Indian Azores yang tinggal di negara Mexico. Indian Azores di Arizona diisolasi pemerintah AS dalam reservation dan mereka diberi tunjangan oleh pemerintah. Mereka secara rutin mendapatkan bantuan hidup dari pemerintah. Hal ini dilakukan sebagai "balas budi" pemerintah AS pada penduduk asli benua ini.

Ternyata hasilnya adalah hilangnya etos kerja dan kemandirian, dan akhirnya mereka menjadi masyarakat yang sangat tergantung pada subsidi pemerintah. Tradisi kerja keras dan kemandirian yang telah dimiliki secara turun menurun, hilang dalam waktu yang relatif cepat. Mereka yang menjadi malas bekerja, pecandu alkohol dan perjudian. Berburu, budaya asli Indian untuk mencari nafkah telah hilang sehingga orang Indian Azores kurang exercise, dan keadaan ini diperburuk dengan konsumsi makanan barat yang banyak mengandung Carbohydrate dan Fat. Hal ini memicu tingginya persentase obesity pada suku ini, yang pada gilirannya memberi konstribusi pada tingginya prosentase diabetes.

Studi menunjukkan bahwa dengan adanya program bantuan sosial yang bertujuan untuk menghilangkan kemiskinan justru membuat orang-orang miskin menjadi sulit untuk keluar dari lembah kemiskinan. Studi membuktikan bahwa para pengangguran yang menerima subsidi cenderung berubah karakternya menjadi pemalas, enggan mencari pekerjaan dan hilang sikap kemandiriannya. Bukan itu saja, kebiasaan mendapatkan subsidi juga telah menumbuhkan sikap "menuntut hak", yang tentunya sikap ini bertolak belakang dengan sikap pengorbanan dan tanggung jawab. Sikap menuntut ini akan menimbulkan rasa ketidakpuasan, dan menimbulkan rasa marah.

Saya berusaha percaya kepada maksud baik pemerintah bahwa tidak ada maksud pemerintah membuat warganya menderita. Namun, tindakan-tindakan yang dilakukan terasa kurang strategis dan substansial. Pembagian uang Rp 100.000 per bulan untuk keluarga miskin terkesan laksana memberikan ikan dan bukan pancing. Atau, seperti Sinterklas membagi-bagi hadiah. Kalau itu diteruskan untuk waktu yang lama, bukan tidak mungkin ketergantungan jenis baru akan tercipta.

Saya mengerti bahwa posisi pemerintah saat ini sangat dilematis. Tulisan ini hanya memberikan inspirasi bahwa untuk menghapuskan kemiskinan jangan sampai mencegah tumbuhnya sikap-sikap : bekerja keras, mandiri, belajar bagaimana bekerja dengan jujur, berkepribadian kuat, bertanggungjawab terhadap masa depan anak-anaknya, menjadi warganegara yang tertib serta patuh hukum.