Ads 468x60px

Monday, May 29, 2006

Gunung Merapi Meletus

Beberapa hari yang lalu terjadi gempa vulkanik di Jogjakarta. kasihan sekali mereka, setahu saya kebanyakan penduduk disekitar Merapi adalah petani. Terus di Sacramento Bee pada tanggal 28 May 2006, mengekspose berita ini di headline halaman pertama. Untunglah sudah banyak bantuan yang datang dari negara-negara tetangga dan sahabat. Tetapi pada kemana negara-negara Islam? Negara-negara Timur Tengah? Arab Saudi, dll? Tetapi mengapa mereka; negara-negara barat yang sekuler,kristen dan kafir; yang pertama tergopoh-gopoh ingin segera membantu musibah di Indonesia yang konon dekat dengan kebudayaan Arab. Mengapa negara-negara Arab yang kaya selalu lamban bahkan tidak membantu?
Ah, kali budaya kita orang Asia yang pada cuek kalau masalah kagak bersentuhan dengan diri sendiri, apalagi kalau masalah itu kagak punya potensi bermasalah dengan kampung tengah. Buktinya saya sendiri belum telp sanak famili di Indonesia menanyakan apakah mereka sehat walafiat. Tadi pagi istriku tunjukin koran dari rumah sakit tempat dia kerja. Katanya dia dibeliin temannya dari department lain karena adanya berita tentang Indonesia. "Apa keluarga mu selamat?", tanyanya ke istriku. "Tidak tau", "Apa sudah call mereka?", desaknya lagi, juga istriku hanya bisa geleng kepala. Duh si bule yang lahir dan dibesarkan di negeri super cuek dan sekuler ini masih sempat-sempatnya mikirin negeriku. Boro-boro aku dengan isriku.
Tapi tunggu dulu, mungkin saudara-saudara dari negara-negara Islam udah bantu kali, tapi mereka kagak mau diekspose besar-besaran seperti bantuan negara-negara barat. Maklumlah bagi kaum muslimin saling membantu sudah berjalan sendirinya dalam sendi kehidupan dan syariat, tanpa harus digembar-gemborkan. Sementara pihak barat memang getol menggembar gemborkan kebajikan mereka, yang sebenarnya adalah agenda tersembunyi. Ceunah !
Tapi kok saya punya ide yang berbeda. International community selalu memberikan bantuan kemanusiaan kepada korbannya, siapapun mereka. Mereka tidak bertanya dulu apa korban seagama, se-ethnis dan pertimbangan picik lainnya. Berlainan dg tuduhan 'kristenisasi' melalui pembagian Indomie yang sering dituduhkan. Seharusnya bantuan kemanusiaan diberikan secara tulus dan rela hati oleh semua orang yg berperikemanusiaan. Bantuan kemanusiaan adalah masalah nurani dalam tindakan humanis dalam bukan sekedar ritus religi.
Isriku punya teori seperti ini, "Umat Islam percaya akan nasib setiap orang sudah ditentukan sebelum dia lahir. Apakah dia hidup makmur, hidup sengasara, kena musibah atau tidak, apakah seseorang masuk sorga atau neraka. Menolong orang yang sudah ditakdirkan untuk kena musibah dianggap menentang Allah!". Ach, istriku sok tau. Tau apa dia dengan filosofi keagamaan.
"Ingat ketika Tsunami tiba?", tambah istriku, dia nggak mau kalah, "Mufti Saudi Arabia segera mengeluarkan pernyatan bahwa kesemuanya ini bukti bahwa Allah mengutuk kaum kafir! Soalnya pada hari pertama sesudah Tsunami yg dikabarkan terkena musibah adalah Sri Lanka dan Thailand yg jelas dianggap sebagai kafir - makanya pantaslah kalau kena tulah! Begitu juga ketika gempa bumi raksasa melanda kota Bam, Iran. Saudi Arabia yg begitu dekat tidak memberikan bantuan karena korbannya adalah pengikut ajaran Shi'ite!" Aku terkagum-kagum dengan istriku, yang kukira dia hanya tau perban dan jarum suntik, ternyata doi juga baca koran. Tapi kok ide doi berbau provokasi di tengah tengah bencana kieu, kumaha ieu teh?
Jangan khawatir istriku yang cantik, "Arab pasti membantu, mungkin bulan depan, mungkin juga dua bulan lagi, atau tahun depan. Saya akui dech "orang-orang kafir" memang selalu paling cepat dalam mengulurkan tangan. Entah apa yang membuat mereka begitu rasional? mungkinkah karena sebenarnya "kafir" maupun "non kafir" sama -sama di ciptakan Tuhan? sama - sama manusia sehingga solidaritas kemanusiaan lebih penting dibanding solidaritas keyakinan? Percaya deh, ketika umat manusia apapaun suku bangsa dan latar belakang keyakinannya saling bahu membahu untuk memberikan pertolongan, dunia ini menjadi lebih indah untuk ditempati."

Monday, May 01, 2006

Pendakian Gunung

Einstein yang mengatakan bahwa hidup bagi dia adalah seperti mendaki gunung yang kita tak tahu puncaknya. Hiburannya bukan dengan mencapai puncak gunung, hiburannya diperoleh ketika kita beristirahat sejenak dan melihat indahnya pemandangan dari ketinggian. Setelah itu, kita mendaki lagi.