Ads 468x60px

Monday, July 25, 2005

Agama dan Sisi Kemanusiaan

Pada bulan ini kita mendengarkan berita-berita pengeboman yang merenggut jiwa ratusan orang. Tanggal 7 Juli terjadi pengeboman di subway kota London, beberapa hari kemudian terjadi serangkaian bom juga di kota yang sama, kemudian disusul dengan pengeboman di Sharm el-Sheikh yang merenggut nyawa sedikitnya 88 orang. Hingga saya menulis ini hampir semua sumber informasi menuding Taliban dibalik serangkaian peristiwa ini. Padahal kota London dikenal sebagai kota yang paling ramah dengan umat Muslim di Eropa , dan Sharm el-Sheikh merupakan kawasan wisata favorit di Laut Merah, lokasi tersebut sering dipakai sebagai lokasi konferensi dan pertemuan damai antara para pemimpin Timur Tengah dan negara-negara Barat. Pertanyaannya apa yang sedang dicari pelaku pengeboman itu?

Agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan, tetapi tafsiran pada agama sering justru menghasilkan kejahatan. Sehingga, seseorang yang mengatasnamakan agama dalam perilakunya sering tak pernah ada kesadaran bahwa perbuatan yang dilakukan adalah sebuah kejahatan. Lebih jauh lagi, ada suatu keyakinan yang ditekaankan dalam beberaga agama bahwa kematian akibat sesuatu dilakukannya atas nama Tuhan justru akan menghantar mereka menuju surga.

Dalam Berita Utama Kompas tanggal 9 Oktober 2003 diberitakan begitu dijatuhi hukuman mati di depan sidang kasus bom Bali Imam Samudra, langsung memekikkan gema takbir "Allahu Akbar, Allahu Akbar". Tidak pernah ada sikap atau perasaan menyesal sekalipun dari Imam Samudra atas perbuatan yang telah dilakukannya. Sebelum meninggalkan ruang sidang, Imam Samudra kembali meneriakkan takbir dan mengacungkan jempolnya kepada pewarta foto.

Lebih lanjut, Kompas tanggal 11 Oktober 2003 menulis Abdul Azis alias Imam Samudra (33) mengaku bahwa dirinya sama sekali tak gentar atau takut menghadapi ancaman hukuman mati. "Saya tidak takut dihukum mati, karena apa yang selama ini saya lakukan telah berada di jalan Allah, dan sesuai dengan ajaran Islam," kata Imam Samudra saat menyampaikan pledoinya. Namun demikian, Imam mengakui pada kenyataannya memang ada kaum muslim dan orang Indonesia yang lain, yang juga ikut menjadi korban dari ledakan bom di Kuta. "Untuk ini, saya mohon maaf," tambahnya.

Dengan mudah Imam Samudra meminta maaf bagi orang-orang yang ikut jadi korban, seolah-olah itu sudah merupakan harga yang wajar untuk sebuah perjuangan. Ini adalah sebuah titik balik kehidupan di mana kemanusiaan telah mati. Manusia sudah mencapai suatu pemahaman bahwa surga bisa dicapainya melalui perjuangan-perjuangan yang mengorbankan nyawa orang lain. Kebaikan jenis ini sudah sampai pada titik dimana kemanusiaan tidak berarti apa-apa lagi. Semua agama pada dasarnya begitu lekat dengan sisi kemanusiaan, tetapi seiring perjalanan waktu, tafsir-tafsir pada ayat-ayat Kitab Suci acapkali membuat sisi kemanusiaan lenyap dari agama.

Tahun lalu teman saya masuk penjara imigrasi di Amerika Serikat, secara kebetulan pada hari yang sama saya bertemu dengan seorang ibu tokoh gereja yang saya kagumi. Kemudian saya jelaskan bahwa teman saya masuk penjara, untuk mengeluarkannya dibutuhkan uang $15.000 padahal dia tidak punya keluarga di sini. Tidak duga, ibu tersebut memberikan respons yang membuat saya kaget, dia katakan bahwa memang sudah sewajarnya kalau melanggar peraturan negara akibatnya masuk penjara. Yang penting bukan untuk mengeluarkannya dari penjara, tetapi pertobatannya yang penting, bubuhnya. Tanpa sedikitpun sedih atau iba dengan nasib yang dialami teman saya.

Bila hati nurani sudah hilang maka manusia tidak lebih sebagai boneka yang sedang dimainkan dalam drama kemanusiaan yang mati. Bila Tuhan hanya ditempatkan sebagai objek telaah teologi maka Tuhan hanya sebatas ilusi. Ilusi inilah yang menafsirkan tuhan-tuhan transenden yang kosong. Manusia hanya dapat menemukan Tuhan bila menyatu dengan hidup sesamanya dalam konteks kemanusiaan.

Thursday, July 14, 2005

Ngomong-ngomong tentang PKI

Ngomong2 ttg komunis, terus terang saya asli berdarah pancasila 100%. Bapak, Ibu, paman, embah, engkong semuanya tidak ada darah komunis. Tetapi orang-orang yang baru saya sebut tadi lancar menyanyikan lagu genjer-genjer (versi sumatra timur lagi). Bahkan ibu saya sering menyanyikannya kalau mengajar pelajaran PSPB. Mereka tau lagu genjer-genjer sebagai syarat dapat cangkol yang dibagikan dikelurahan tahun 1965. Cangkolnya bagus, asli buatan RRT menurut ibu saya. Lho kalau komunis bagi-bagi cangkol ya... baik dong... ya nggak?

"Nggak baik, PKI nggak benar", kata ibu saya. "Kalau PKI menang semuanya nggak beragama". Uhhh apa betul yang beragama lebih baik? Tapi karena saya adalah anak pancasila saya tidak berani membantah orang tua, takut dikatakan komunis. Sampai sekarang saya kagak tau komunis itu nggak benarnya dimana.

Bicara ttg komunis benar atau tidak sudah irelevant. Ya, orang-orang bilang antinya komunis adalah kapitalis dan agama. Tetapi dua yang terakhir ini juga adalah alat represif yang tidak mengenal batas kemanusiaan kalau disalah gunakan. Kapitalis, siapa yang kuat (pemilik modal) dia yang menang; makanya Amerika Serikat kaya raya pada saat yang sama Amerika Latin yang mensuplai kekayaannya kelaparan. Agama, saya tidak ahlinya tapi Taliban bisa jadi contoh, inquisisi di gereja-gereja abad pertengahan, dan daftar ini akan semakin panjang seiring dengan semakin tuanya bumi kita ini. Balik lagi ke komunis... ach nggak benar juga buktinya USSR dan Cina melarat juga, Kayaknya semuanya nggak benar...... atau Kayaknya yang benar itu bunglonisasi? (kalau ditempat ibadah jadi religius, ditempat kerja jadi kapitalis, di rumah jadi komunis, dikampus jadi ateis, dst)

Nabi Solaiman menulis dalam Alkitab sbb:"Dalam hidupku yang sia-sia aku telah melihat segala hal ini: ada orang saleh yang binasa dalam kesalehannya, ada orang fasik yang hidup lama dalam kejahatannya. Janganlah terlalu saleh, janganlah perilakumu terlalu berhikmat; mengapa engkau akan membinasakan dirimu sendiri? Janganlah terlalu fasik, janganlah bodoh! Mengapa engkau mau mati sebelum waktumu? Adalah baik kalau engkau memegang yang satu, dan juga tidak melepaskan yang lain, karena orang yang takut akan Allah luput dari kedua-duanya."

Selamat week-end teman-teman

Sunday, July 10, 2005

Agama Praktis Dalam Kehidupan Sehari-hari

Haji Said Agil Husin Al Munawar, seorang mantan pejabat tinggi Departemen Agama yang amat menguasai ilmu agama karena meraih doktor dalam bidang Syariah Islam dari Arab Saudi, dapat menghafal seluruh isi Al Quran, dan telah mengucapkan sumpah jabatan dengan nama Allah, ternyata telah melakukan pelanggaran yang tidak sesuai dengan perintah agama.
 
Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin, MA, Ketua KPU, seorang professor dan dosen senior Universitas Indonesia, pakar yang amat terdidik yang mendapatkan kehormatan dan kepercayaan penuh dari rakyat untuk duduk di KPU,  terlibat kasus korupsi. Tetapi mengaku tidak tahu ada larangan menerima apapun selama menjabat. Padahal Jerat yang dipakai KPK adalah UU 30 / 1971 tentang KPTPK (tahun tujuh hiji saudara-saudara!!) undang-undang yang sudah ada 34 tahun yang lalu. Okey katakanlah doi sudah lupa, karena tugas doi sebagai professor terlalu banyak yang harus dihafal, jangan lupa bahwa setiap pelantikan pejabat mulai dari eselon terendah ada sumpah dengan nama Tuhan, dengan Al Kitab suci di atas kepala. Biasanya ada bagian sbb: "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian ". Sebenarnya doi tentunya pasti mengetahui betapa dilarangnya menerima kick-back dan memberikan suap, tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk menolaknya.
 
Saya pernah tinggal di rumah seorang pendeta yang tidak pernah menyentuh Sekolah Sabat dan Buku Renungan Pagi sepanjang minggu kecuali Sabat Pagi atau kalau ada tamu yang datang ke rumah. Beliau tentu saja tau bahwa belajar Sekolah Sabat itu adalah sesuatu yang harus dipelajari setiap hari.
 
Saya juga pernah berbincang-bincang dengan beberapa mahasiswa yang baru saja menamatkan Sarjana Kependetaan dari UNAI. Pada waktu itu, salah satu dari mereka baru saja mendapat penempatan ke Sumatera Kawasan Selatan. Maklumnya sebagai seorang yang masih "segar" doi belum banyak tau kondisi menjadi pendeta muda. Kemudian dia tanyakan bagaimana mengambil hati Ketua Daerah (dengan bahasa B*** yang masih kental). Sebodoh-bodohnya saya yang tidak pernah kuliah di Fakultas Filsafat jurusan Kependetaan, pertanyaan yang kurang berhikmat ini tidak layak ditanyakan oleh seorang Calon Hamba Allah yang telah berkeputusan untuk melayani. Doi sedikitnya akan sedikit lebih rohani bila menanyakan bagaimana untuk membuat performansi kerja yang lebih baik.
 
Contoh-contoh di atas membuktikan, sekadar mengetahui moral baik dan buruk, bahkan sampai menguasai dasar filosofi moral, adalah tidak menjamin seseorang dapat menerapkannya dalam kehidupan nyata. Maksud dengan kutipan -kutipan di awal tulisan ini adalah sulitnya membangun karakter yang memerlukan latihan intensif, motivasi kuat, dan keteguhan hati untuk menolak tindakan buruk, dan gemar melakukan kebaikan.
 
Seorang dapat menguasai ilmu tentang etika dan moral, dan bahkan menulis bagaimana aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari, namun tidak mampu untuk menerapkan etika dalam kehidupan nyata bila tidak melakukan latihan keteguhan hati.