Ads 468x60px

Thursday, September 22, 2005

Dua Serigala

Alkisah ada seorang kakek berkata kepada cucunya: "Dalam diri saya ada dua serigala, yaitu serigala baik dan jahat. Serigala yang baik tidak pernah menyerang. Ia hidup damai dan tenteram dengan semua yang ada di sekelilingnya. Ia hanya menyerang kalau memang ia harus mempertahankan diri, dan itu pun dilakukannya dengan baik dan adil."

"Tetapi serigala yang satu ini, wah! Penuh dengan kemarahan. Kejadian sekecil apa pun pasti akan membuatnya marah. Ia membenci dan memerangi siapa saja, walaupun tanpa alasan yang jelas. Ia tidak pernah bisa berpikir jernih, karena rasa kebencian dan kemarahannya telah menguasai akal sehatnya."

Lanjut kakek, "Alangkah sulitnya hidup dengan dua jenis serigala yang ada di dalam diri kakek ini, karena keduanya berusaha untuk menguasai jiwa saya, dan saling bersaing." Kemudian sang cucu memandang kakeknya dengan penuh rasa ingin tahu, dan bertanya: "Serigala mana yang menang, Kakek?" Kakek menjawab dengan pandangan serius, "Yang menang tentu saja yang saya beri makan."

Kisah di atas memberikan inspirasi kepada anak-anak, yaitu kalau kita mengikuti nafsu kebencian, kedengkian, kemarahan, berarti kita sedang memberikan makan serigala jahat. Semakin sering kita memberikan makanan kepada serigala jahat, serigala tersebut akan tambah besar dan kuat badannya, dan ia akan menguasai jiwa kita, sehingga kita menjadi bersikap seperti serigala jahat. Sedangkan serigala baik, karena tidak pernah diberi makan, lama kelamaan akan lemah dan mati.

Tetapi kalau kita memilih untuk bersabar, memaafkan, berpikiran positif, dan menyayangi sesama, berarti kita sedang memberikan makanan kepada serigala baik. Semakin kita sering memberikan makan kepada serigala baik, serigala jahat akan kelaparan, dan lama-kelamaan tidak berdaya. Maka serigala baik akan menguasai jiwa kita, sehingga kita bisa menjadi seorang yang pemaaf dan penyayang, manusia yang dihiasi akhlak yang mulia yang selalu membawa kebaikan bagi sekelilingnya.

Jadi, ini semua bergantung pada pilihan kita; apakah ingin menjadi seperti serigala jahat yang selalu ingin berperang dan mengobarkan kebencian, atau sebaliknya, yang cinta damai yang kerap menyebarkan kasih sayang ke sesama manusia.

Tuesday, September 20, 2005

Liga Kompetisi Mendongkrak Jumlah Umat

Dalam beberapa minggu terakhir ini marak penutupan gedung-gedung ibadah Kristen di beberapa tempat di Jawa Barat dan Banten. Berita yang kami dengar di Sacramento bahwa aksi ini dimotori oleh Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP). Peristiwa seperti ini mudah dianggap sebagai "konflik" Kristen dan Islam sehingga banyak orang menjadi gelisah mengenai masa depan bangsa kita, ketika aksi-aksi penutupan gedung-gedung ibadah berlangsung terus.
 
Aksi-aksi itu dilakukan oleh kelompok-kelompok yang bukan alat-negara. Ada kesan, bahwa setiap orang atau kelompok boleh saja mengambil tindakan terhadap orang atau kelompok lain yang tidak disenanginya, atau yang dianggapnya tidak memenuhi aturan-aturan yang berlaku. Kalau kecenderungan ini terus berjalan, bukan tidak mungkin negeri kita akan terjerumus ke dalam chaos dan anarkisme.
 
Saya menangkap bahwa penutupan gereja ini adalah sekedar dalih untuk mengerem pertumbuhan umat Kristen. Menurut Muhammad Mu'min pimpinan AGAP pada Laporan Utama Majalah Tempo Edisi 11 September 2005 bahwa aksi mereka adalah merespons munculnya gereja liar yang subur di Indonesia. Menurut Mu'min Kristenisasi dilakukan dengan iming-iming uang dan bantuan lain. Menurut catatan kami, bubuhnya, beberapa tahun terakhir ini sudah lebih dari 10 ribu orang Islam di Jawa Barat yang pindah ke Nasrani. Ini harus dilawan.
 
Agama-agama saat ini entah itu Kristen,  Islam atau Yahudi sudah terjebak dalam kompetisi mendongkrak jumlah pengikutnya dengan cara-cara seperti orang jualan jamu di pasar malam. Orang gemar berteriak: ”Agamaku yang nomor satu. Agama orang lain sesat dan keliru”. Konyolnya, jualan jamu itu sering disertai dengan kebencian pada umat beragama lain. Suara-suara bising penuh marah dan kebencian pada umat beragama lain itu sering disuarakan dari mimbar di tempat ibadah.  Akibatnya tempat ibadah sering dijadikan sebagai pasar untuk menyebarkan kebencian. Sering kebencian atas umat lain disertai dengan legitimasi seolah-olah hal itu merupakan kehendak Tuhan sendiri. [Baca]

Seharusnya tempat ibadah bukan semakin memisahkan manusia dalam sekat-sekat kebencian tetapi menjadi penyebar semangat kemanusiaan. Tempat ibadah harus pro kemanusian sehingga Tuhan berkenan tinggal di dalamnya. Ebiet G Ade pernah bernyanyi :”Tuhan ada di sini, di dalam jiwa ini, bercermin dan banyaklah bercermin”. Entah bagaimana Tuhan  melihat kompetisi ini.