Ads 468x60px

Sunday, February 20, 2005

Konflik dalam Pernikahan


"RASANYA saya sudah memenuhi tanggung jawab saya sebagai suami. Saya menyediakan rumah tinggal, saya memberikan belanja bulanan, saya mau membantu pekerjaan rumah tangga manakala istri membutuhkannya." Demikian ungkapan kebanyakan suami yang bersedia mendampingi istri yang merasa memerlukan konseling perkawinan bagi perbaikan relasi suami istri.
"Saya heran, apalagi sih yang menjadi permasalahan istri saya, bagi diri saya semua berjalan cukup baik, dan tidak ada yang perlu diributkan lagi. Istri saya selalu mengatakan saya kurang komunikasi, padahal saya sudah mengatakan apa yang saya inginkan. Bila kemudian ia memaksakan kehendaknya, ya silakan saja, tetapi jangan salahkan saya kalau akhirnya saya juga memutuskan sesuatu tanpa persetujuannya, toh saya sudah mengomunikasikannya sebelumnya." Demikian lanjut para suami tersebut.

Dari ungkapan tersebut terasa ada jurang pemisah yang kurang dihayati pihak suami, sementara dari pihak istri merasa sering terkaget-kaget melihat reaksi/respons suami yang kurang dipahami atau di luar dugaan istri.

Keluhan istri atau protes istri akhirnya akan menjadi awal suatu pertengkaran, dan untuk menghindari pertengkaran biasanya istri atau suami memutuskan untuk terdiam seribu basa, tanpa membuka kesempatan penyelesaian konflik secara tuntas. Satu pasangan akan terdiam seribu basa karena merasa ungkapan/keluhan yang diutarakan hanya akan sia-sia saja. Kita bisa bayangkan pengaruh timbal balik berlanjut sebagai akibatnya.

Kemungkinan terbesar yang akan berkembang dalam kehidupan keluarga selanjutnya adalah terciptanya apatisme dari masing-masing pihak, dengan peluang paling ekstrem adalah bahwa masing-masing pasangan membina dunianya masing-masing. Kehidupan suami istri mejadi terasa rutin, menjenuhkan, dingin serta membuat kedua pasangan merasa tidak bahagia, karena inti keluarga penuh kasih terkikis sedikit demi sedikit, masing-masing sibuk sendiri, dan relasi intim antarpasangan pun pudar, hubungan antarsuami istri hanya sebatas pemenuhan tampilan sosial sebagai pasangan perkawinan. Iklim relasi semacam itu akan dengan sendirinya diperparah terkikisnya ketertarikan erotis-seksual di antara pasangan yang menurunkan bahkan memadamkan keinginan kedua pasangan untuk menjalin relasi intim suami istri.

Salah satu esensi dasar kehidupan perkawinan yang hilang tersebut akan mengimbas terhadap kesediaan antarpasangan untuk berbagi dalam berbagai permasalahan hidup lainnya. Perkawinan pun menjadi hanya sekadar pemenuhan formal tuntutan peran sosial.