Ads 468x60px

Friday, December 22, 2006

Ibu Kartini Terperangkap di Jalan Jenderal Sudirman



Salah satu kenangan yang saya ingat waktu saya masih muda adalah nongkrong sambil menantikan pacar turun dari kantornya di Gedung BNI 46 di wilayah jalan Sudirman. Saya memperhatikan beberapa karyawan wanita yang baru saja pulang kerja. Cukup banyak. Ach..... wanita dengan berbagai macam mode pakaian kerja hilir mudik masik dan keluar lift. Di dalam hati saya berkata: "Terima Kasih Ibu Kartini, tanpa engkau pemandangan Jenderal Sudirman akan begitu hambar, tanpa bunga-bunga merah, kuning, dan berbagai warna ceria pakaian wanita."

Menyeberang Jalan Sudirman.... ada sebuah mobil kijang berhenti di depan saya. yup omprengan.... Isinya cukup padat. Ada beberapa orang anak, perawat, pembantu rumah tangga, dan supir. Tak lama kemudian seorang ibu mendekat dan masuk ke dalam mobil. Di dalam hati saya berkata: "Oh ibu Kartini, tanpa sengaja engkau telah menceraikan anak-anak ini dari ibu mereka."

Ku harus mengakui bahwa nasib kaum wanita saat ini mengalami banyak kemajuan. Wanita tidak lagi bisa dianggap remeh oleh kaum adam. Wanita mempunyai potensi yang kadang jauh lebih besar dari potensi kaum pria. Kesempatan meniti karir semakin luas bagi kaum wanita. Akan tetapi bersamaan dengan itu pula, struktur keluarga dan pola pendidikan anakpun bergeser. Sekarang, orang tua tidak lagi menjadi pemeran utama usaha pendidikan anak.

Di dalam kesibukan orang tua meniti karir, sekolah sudah hadir untuk menggantikan peran mereka. Semakin banyak sekolah yang menambah waktu belajar murid di sekolah, sehingga orang tua tidak perlu bingung kemana mereka harus menitipkan anak. Yayasan penyalur baby-sitter semakin banyak. Taraf hidup para pembantu mulai meningkat. Kaum wanita berekonomi rendah mendapatkan kesempatan kerja lebih baik sebagai baby-sitter. Dengan keberadaan baby sitter, kekhawatiran para orang tua semakin dapat teratasi ... asal ada uang!!! Tapi sekali lagi ... kehadiran sekolah dan yayasan penyalur baby-sitter yang pada mulanya untuk membantu orang tua, kini membuat jurang perceraian anak dan orang tua semakin besar.

Duh Ibu Kartini, tanpa engkau pemandangan Jenderal Sudirman akan begitu hambar ! Tapi tanpa sengaja engkau telah menceraikan anak-anak ini dari ibu mereka.

Tuesday, November 14, 2006

Sayap Malaikat yang Patah

Pastor Ted Haggard, Presiden Asosiasi Penginjilan Nasional yang mempunyai 30 juta pengikut Kristian dengan 14,000 geraja dibawahnya mengaku telah menipu pengikutnya dan telah melakukan sek yang tidak bermoral dalam pengakuannya pada 5 November 2006.Dalam pengakuannya, Haggard mempunyai kencan bulanan dengan seorang pelacur pria dalam kurun waktu tiga tahun. Ted Haggard seorang pemimpin gereja konservatif injili (evangelical) yang bersuara peling keras menentang perkawinan sejenis nyatanya terlibat kasus Gay.

Penuduhnya, Mike Jones, adalah massager gay cakep, atletis dan profesional escort. Mike menuduh bahwa Ted mengenalkan diri sebagai 'Art' (nama tengah Tedadalah Arthur), dan sudah menyewanya 3 tahun - rata2 sebulan sekali. Selain itu Ted juga beli narkoba lewat dia. Mike tadinya tidak menyadari siapa si Art ini sampai dia nonton dokumentari tentang agama dan melihat tampak si Art disitu. Mike jadi marah karena hipokrisi sang pastor yang terbuka anti gay.

Dalam sebuah surat yang dibacakan pada kebaktian Minggu di hadapan jemaat di Gereja New Life di Colorado Springs, Pendeta Haggard mengungkapkan "Saya bersalah dengan perbuatan seks amoral dan saya bertanggung jawab atas segala permasalahan tersebut. Saya memang seorang pembohong dan pecundang.... Ada satu sisi gelap dalam kehidupan saya yang mesti saya lawan. Untuk masa-masa tertentu saya menikmati kemenangan dalam kebebasan tersebut. Lantas hari demi hari kekotoran yang saya kira sudah hilang muncul kembali. Saya terus memikirkannya dan mengalami hasrat yang berlawanan dengan segala sesuatu yang saya yakini dan saya ajarkan." Dia mengaku mencintai istrinya. "Apa yang telah saya lakukan tidak pernah menjadi hal negatif dalam hubungan saya dengannya. Masalah ini tidak ada kaitannya dengan istri saya, kelima anak-anak saya atau siapa saja di antara kalian. Seratus persen itu semua ulah saya," tulisnya.

Istrinya Gayle juga menulis sepucuk surat kepada para wanita dalam jemaat gereja. "Saya tahu hati Anda hancur, begitu juga saya." Dia mengatakan masih mencintai suaminya.

Beberapa tahun yang lalu ada juga kasus yang tidak sama persis namun mirip-mirip. Yakni yang terjadi di NARTH suatu badan psikologi gurem yang didukung oleh gereja-gereja konservatif dan injili, dan mengkhususkan diri dalam penyembuhan homoseksual. NARTH sendiri aktif menentang homosexual dan menyatakan kasus gay adalah penyakit yang bisa disembuhkan. Nyatanya anak dari presiden NARTH yaitu Richard Socarides adalah seorang gay, celakanya lagi Socarides adalah penasehat presiden Clinton dalam masalah gay.

Beberapa bulan yang lalu juga salah satu gereja Advent Indonesia di Southern California dikagetkan dengan adanya berita bahwa salah seorang pendeta senior telah jatuh dalam perzinahan. Secara pribadi saya tidak antusias untuk mengecek kebenaran berita ini, tetapi hingga saat saya menulis catatan ini, beliau belum kembali kepada posisinya sebagai gembala jemaat.

Dalam salah satu milis yang saya ikuti, ada anggota jemaat yang keberatan pada gembala jemaatnya sebab gembala jemaat tersebut sangat bangga menceritakan bahwa seorang narapidana (Lidya) kini sedang belajar pendalam Alkitab dari pendeta tersebut dan pendeta ini juga menceritakan kecantikan dari Lidya yang begitu aduhai. Dia juga menyatakan bahwa Lidya sangat dekat dengan dia sekarang ini, dan dia sangat bangga atas hubungannya dengan Lidya di penjara. Pendeta ini tidak puas memenangkan Lidya bagi Kristus tetapi juga menikmati tubuh Lidya yang begitu aduhai walau sekedar lewat tatapan mata saja. Tidak cukup menikmatinya dalam hati tetapi juga membagikannya pada anggota jemaatnya.

Berhadapan dengan manusia yang multidimensional dan kompleks, pendekatan doktrinal saja tidak memadai. Apalagi kalau yang bersangkutan dipaksa atau terpaksa mengabdi pada satu interpretasi Alkitab, teori psikologi, kebijakan politis atau doktrin. Kelihatannya kekristenan yang lebih empatilah yang mampu mendekati persoalan kemanusiaan dengan lebih baik.

Yang saya maksud dengan Kekristenan Empati adalah sebuah kekristenan yang melihat bahwa selalu dalam diri setiap orang ada nilai-nilai kebajikan yang pantas dihargai sepenuhnya, sekaligus bahwa setiap orang bergumul dan berjuang dengan keterbatasan dan kelemahannya akibat dosa. Kekristenan yang melihat martabat dasar setiap manusia, yang dianugerahkan Allah padanya, yang melampaui orientasi seksual. Kekristenan yang tidak melihat setiap persoalan sebagai masalah hitam-putih.

Thursday, September 21, 2006

Selimut Ketakutan di Balik Meja Perjamuan Suci

Saya baru baca artikel Newsweek ini :The New Naysayers .Bagus! Maksud ku bagus debatnya. Mengenai ateisme khususnya diskusi dengan tokoh sains yang mumpuni saat ini. Aku sendiri, nggak bisa ngasi tanggapan apa-apa. Cuma mau berterima kasih aja atas komentar terhadap tulisan "The New Naysayers" itu. Keren pisan euy!

Terhadap pertanyaan "If there is no God, WHY BE GOOD?" - respon Dawkins sangat menarik: "Do you really mean the only reason you try to be good is to gain God's approval and reward? That's not morality. That's just SUCKING UP!"

****

Minggu-minggu belakangan ini, pendekar-pendekar sakti di milis AI pada demonstrasi ilmu jingkang, totok, entah apalah pokoknya membuat aku yang keroco ini terkagum-kagum. Diskusi tentang Perjamuan Suci : pria dan perempuan berpasangan dalam pembasukan kaki, keikutsertaan anak-anak dalam perjamuan, anggurnya harus wine asli atau tidak, wealah pokoknya serulah....! Sesudah aku tutup layar komputerku, aku berpikir: Untuk apa ya... di diskusikan? Apa supaya tidak berdosa? Takut Tuhan marah kalau melakukan perjamuan suci tidak sesui dengan apa yang Tuhan mau? Oalah... pusing aku.

Otak kita sejak lahir telah diprogram agar kita selalu ingin menjadi yang "terkasih", yang "terbenar" yang "terbaik" pokoknya semua yang "ter--- lah". Sehingga agama, ideologi dan praktika religi yang kita anut sering menyebabkan kita menjadi lebih benar, dan pada gilirannya arogan. Lebih jauh lagi, pemrogaman yang kita terima menyebabkan kita cenderung memandang lewat kaca mata sempit kita, cenderung mempersonifikasikan Sang Pencipta,sehingga kita merasa Dia perlu dilindungi, Dia perlu dijaga agar tidak marah, perlu dipuji puja agar Dia senang, agar kita bisa dijadikan sebagai anak kesayangan-Nya.

Kembali ke artikel Newsweek di atas, kadang aku pikir, saya jadi orang baik karena : F E AR !!. Fear of being alone. Fear of rejection. Fear of not being love. Fear of being lost. Fear of sins. Fear of hell. Fear of God. Fear of being punished, fear of being kicked to the hell!!! Fear of all the things we don't know... Mungkin pendekar-pendekar sakti di milis IA ini debat:"We are being good, because we LOVE God!". Are you sure? Kalau Tuhan kagak ada masih mau jadi orang baek? atau Kalau Tuhan katakan "Sampeyan baek, 1/2 baik, atau tidak baek sama sekalian semua masuk Sorga? Apa tetap masih mau baek juga? Mirip-mirip syair lagu John Lenon: "Imagine there's no heaven, It's easy if you try, No hell below us, Above us only sky, ..... No religion too, ..." In simpler terms, imagine there's no God." Kalau ngana tetap jadi orang baek walau Tuhan kagak ada, pertanyaan selanjutnya apa yang memotivasi ngana supaya jadi orang baek?

Aku kagum sama orang-orang pinter yang berani mencari berbagai jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang memang jadi PR kita! Jadi kalok - misale- Kok Sammy udah bisa meyakinkan "jingkang, salto, siu-lo-im-sat-kang" tingkat kesembilan, jangan lupa member AI banyak yang masih baru belajar ngatur nafas aja, atau bahkan lebih banyak lagi yang baru mulai belajar lari-lari. Golongan yang belakangan ini lebih sering milih jadi sekadar "daun jatuh" yang mengalir ke mana arus air sungai mengalir... Sedang aku? Aku cuma ngalor-ngidul, mungutin sampah sesudah pesta "debat" selesai. Terhadap banyak pertanyaan yang muncul di kehidupan ini, jawabanku masih dan
masih saja - kebanyakan adalah: KAGAK TAU

Monggo, silakan teruskan diskusinya. Aku pengin selonjoran lagi sebelum mungutin sampah "pesta" yang berikut.

Saturday, September 16, 2006

Memahami Rahasia Ilahi


Ayah saya meninggal dunia tanggal 10 September yang lalu setelah mengalami Cerebrovascular Accident. Sebelum ayah meninggal dunia, saya dan istri berdoa agar dapat melihat ayah walau untuk yang terakhir kalinya. Tetapi Tuhan memiliki rencana lain. “Dimana Tuhan ketika saya berdoa untuk kesembuhan ayah? Bukankah dia berjanji akan memberi kalau diminta?”

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering kita tanyakan ketika mengalami malapetaka. Dimana Tuhan ketika gempa bumi dahsyat, tsunami, banjir besar, tanah longsor, bom dan terorisme, lumpur panas, dan busung lapar? David Hume, filsuf abad ke-18 pernah bertanya, "Adakah Allah bermaksud mencegah malapetaka tetapi tidak sanggup? Berarti Dia tidak Mahakuasa. Atau adakah Ia mampu, tetapi tidak mau? Itu berarti Allah tidak Mahakasih.”

Tentu saja jawaban-jawaban "mudah" sudah tersedia. Ini adalah hukuman. Ini adalah azab yang mesti dijalani manusia berdosa. Mungkin saja jawaban-jawaban itu ada benarnya. Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa Allah menghukum orang-orang yang baik?

Di dalam teologi Kristen, ada suatu prinsip dimana Allah selalu diaggap baik Di dalam menghadapi malapetaka dan kejahatan, Allah tidak dapat dipersalahkan. Memang di dalam kebaktian-kebaktian penghiburan ketika orang mengalami malapetaka, demi tujuan pastoral, cara berpikir ini mungkin menolong. "Allah tentu mempunyai maksud baik," demikian selalu dikatakan. Boleh jadi juga orang merasa terhibur.

Pertanyaan-pertanyaan yang, kendati tidak secara verbal ditanyakan ini, sesungguhnya tertanam di dalam sanubari setiap orang. Pertanyaan ini menghujam kepada pertanyaan mengenai eksistensi Allah sendiri. Pertanyaan ini tidak sederhana jawabannya. Atau barangkali tidak pernah ada jawabannya yang logis.

Melihat kegagalan logika menjawab pertanyaan ini, Karl Rahner, seorang teolog Katolik menyimpulkan,“Kita mesti belajar untuk menerima hal-hal yang tidak terpahamkan sebagai bahagian dari tidak terpahamkannya Allah sendiri. Allah mengizinkan malapetaka dan kejahatan untuk ada di dalam dunia, yang alasannya hanya diketahui oleh Allah sendiri.”

CS Lewis yang pernah menanyakan pertanyaan eksistensi ini, justru baru "mampu" memberikan jawaban ketika mengalami sendiri penderitaan pahit dengan meninggalnya sang istri. Berdasarkan pengalaman itu, ia menulis satu buku berjudul A Grief Observed. Melalui buku itu ia mengatakan bahwa jawaban-jawaban, apalagi yang bersifat teoritis-akademis, tidak pernah dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengenai keberadaan manusia dan posisi Allah di dalam konteks malapetaka.

“Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini." Ulangan 29:29

Kematian memang selalu jadi misteri. Selamat jalan Bapak ! Beristirahatlah dengan tenang sampai kita bertemu lagi.

Saturday, August 26, 2006

Perang Antar Dua Padepokan

Tersebutlah satu kisah tentang bratayudha di milis AI di negeri maya. Antara murid-murid dari kaki Gunung Burangrang dan murid-murid dari kaki Gunung Klabat. Aku tidak tahu, dan tidak mau tahu, apakah perang ini diilhami pertempuran yang baru-baru ini terjadi antara salah satu murid dari padepokan Adelaide di Aussie dengan murid dari padepokan Andrews dari negeri Paman Sam. Pertempuran tidak melukai kulit tapi yang kutakutkan ada luka yang lebih dalam di dada. Tapi sebelum harapanku untuk gencatan senjata terlaksana, ku ajaklah dirimu untuk sedikit "menikmati" pertempuran ini. Entah kenapa saya lebih menikmati peran menjadi penonton daripada pemain. Dan sebagai penonton teriakan saya akan lebih nyaring dan lebih kuat, dan juga lebih panas. Saya juga tidak bernaksud sebagai Semar yang memberi nasehat pada para Pandawa dan Kurawa, hanya pengen jadi penulis dan saksi perjalanan sang kala. Dengan harapan dan mudah-mudahan anak cucu saya dikemudian hari belajar dari coretan-coretan saya. Itu saja tidak lebih.

Awal ceritanya dimulai dengan autokritik murid dari Padepokan Gunung Burangrang pada almamaternya. Kekecewaannya atas kualitas adik-adik seperguruannya yang semakin menurun. Mungkin dulu dia mengingat kakak-kakak seperguruannya sudah khatam dalam ilmu jingkang, shilat, ilmu totok, jurus si kunyuk melempar buah, dan ilmu-ilmu mandraguna lainnya sebelum ditamatkan dari padepokan. Sekarang justru adik-adik seperguruannya babak belur ditonjokin anak-anak terminal yang kagak pernah asah taji. Terus doi juga protest tentang mahalnya uang pembayaran. Barangkali dulu bisa bayar pake ayam, jagung, atau singkong ; dan resi-resi pada waktu itu dengan senang hati menerimanya. Bahkan menurut catatan para pujangga resi-resi pada waktu itu sudi membiarkan murid-muridnya untuk membajak kebun dekat pondoknya demi murid-muridnya bisa menuntut ilmu lebih baik. Memang kecintaan seorang murid pada padepokannya membuatnya menyampaikan keluhan itu, demi harkat dan martabat serta kelangsungan nama besar padepokan dimana dia pernah diasuh.

Entah bagaimana ceritanya, berita ini sampai pada murid-murid Gunung Klabat. Maka terjadilah tertempuran yang sengit ini. Posting dilawan dengan posting, pesan diserang dengan pesan, tidak lupa dibumbui dengan mantra dari kitab suci, Lagu Sion dan kutipan dari Tante White. Tapi apa hendak dikata. Itulah konsekuensi kemajuan teknologi informasi. Kalau dulu guru-guru mereka mengajar mereka dengan menerbangkan lesung untuk menyerang kampung musuhnya, murid -murid sekarang lebih canggih lagi, dengan bermodalkan keyboard komputer dan ilmu nyetik sebelas jari lawan disana bisa darah tinggi, serangan jantung bahkan stroke. Efeknya hampir mirip dengan santet !

Dalam perang ini, ada yang memakai identitas samaran, kadang-kadang dua atau tiga. Ada yang memakai identitas asli. Ada yang ketika menulis tidak memakai celana (siapa yang bisa melarang?). Ada yang memakai celana. Ada yang menulis di rumahnya. Ada yang mencuri-curi fasilitas kantor. Ada yang menulis dengan jujur. Ada yang menulis karena dia tidak tahu harus berbuat apa lagi (isteri/suaminya menolak bersebadan dengannya; jadi dia uring-uringan). Ada mahasiswa. Ada gurubesar. Ada orang waras. Ada orang gila. Wuah, macam-macam!

Berdasarkan kenyataan-kenyataan seperti tersebut di atas, maka hal paling maksimal yang bisa peroleh dalam diskusi maya hanyalah: Membaca pesan yang baik yang bisa memperkaya wawasan. Itu saja. Adapun pesan yang tak memperkaya wawasan, ya di-"skip" atau di-"delete" saja. Atau, kalau ada sebuah pesan yang perlu dikoreksi atau diluruskan, ya marilah kita menuliskannya dengan baik.

Jangan coba-coba membayangkan apa profesi, almamater, orientasi seks, afiliasi politik seorang penulis di sebuah milis. Percuma. Dalam diskusi di dunia maya, hal ini juga kurang relevan dan bisa membuat sakit jiwa. Jangan pernah membayangkan teman diskusi anda sebagai seorang perempuan semampai, bertubuh "gitar spanyol" dan punya wajah aduhai, seperti Sarah Azhari, Sarah Fawcett, Sarah Fergusson, atau Sarah-Cornelia Agatha-Si Doel. Kalau ternyata teman diskusi anda adalah seorang lelaki bertubuh kecil dan punya janggut panjang beberapa lembar di dagu, wuah bisa buyar fantasi anda, dan sakit jiwa.

Adapun tentang hal "ledek-ledekan" almamater seperti yang sedang terjadi ini, ya saya juga ikut merasa prihatin. Tapi sebenarnya apa yang sedang terjadi di milis ini adalah juga gambaran dari apa yang sedang terjadi di tengah masyarakat gereja Advent. Konflik antara Indonesia Barat dan Indonesia Timur; konflik antara kawanua dengan "halak kita"; Manado lawan Batak. Saban hari di gereja kita memang hanya ngomongin konflik ini melulu. Takutnya kita sudah tak punya waktu untuk mengurusin hal-hal yang berkaitan dengan evangelisasi dan jangkauan keluar. Hampir semua isyu atau kejadian selalu "dilarikan" atau "ditekuk" menjadi isyu etnik. Bantuan dari divisi dilarikan ke isyu etnik.Pendidikan dilarikan ke isyu etnik. Korupsi dilarikan ke isyu etnik. Pemilihan Pimpinan Uni dilarikan ke isyu etnik. Pengangkatan pendeta dilarikan ke isyu etnik. Tapi kalau kita bisa mengerti bahwa semua ini adalah bagian dari politisasi agama, maka sebenarnya kita tak perlu terlalu emosional untuk menanggapinya.

Mengamati soal debat saling ledek menghina di milis jadi ingat dua kelompok anak desa yang dipisahkan sebuah sungai. Kalau mereka cekcok musuhan, kedua belah pihak ambil posisi diluar jangkauan lemparan batu. Kemudian saling teriak memaki orang tua sampai nenek moyang. Lemparan batu yang jatuh keseberang diteriaki ...hoo nggak kena... Malah ada yang buka celana sambil menunggingkan pantatnya. Lawan diseberang tak kalah sewot, langsung teriak : ..emang lu kecakepan ya ... tahu pantat lu kayak muka gue... hoo...

Dunia cyber jelas lebih lebar dari sungai, tak terlihat tak terjangkau lemparan batu. Mari kita lebih memfokuskan diri kepada bobot pesan ketimbang siapa yang menyampaikan pesan. Jangan emosi, ambil manfaat buang mudarat.

Sunday, August 20, 2006

Kisah Di Dapur yang Sempit : Renungan 17 Agustusan

Hatta, kisahku kumulai di jaman kakekku. Dapurnya yang sempit penuh dengan jaring laba-laba yang menghitam karena jelaga dari kayu bakar dibangunnya 61 tahun yang lalu. Kakekku baru berumah tangga jadi kagak punya apa-apa. Hanya piring-piring dan kuali-kuali bekas milik tetangga yang dihibahkan waktu pernikahannya dulu. Kakekku hanya seorang petani yang mencangkul untuk sesuap nasi. Sebagian jahe, kunyit, pala, rempah-rempah yang ditanam ayak kakekku dikebunnya dulu selalu dicuri tetangga yang nakal. Jadi, nenekku hanya bisa memasak di dapur kecil ini dari sisa-sisa jarahan tetangga keparat itu. Maklumlah karena belum ada kabe waktu itu nenekku beranak-pinak seperti kucing, tetapi walaupun demikian dapur kecil mereka masih cukup untuk mengisi perut lapar paman-paman dan tante-tenteku. Kakekku percaya suatu hari kelak akan banyak makanan yang akan dinikmati bersama secara merata. Kita harus bisa berdiri diatas kaki kita sendiri, demikian selalu kata kakekku. Demikianlah nenekku selalu dilarang pinjam garam untuk dapur kecilnya. Bukan hanya itu, paman-pamanku hanya bisa berteman dengan Karel Max tapi nggak dengan si Karl May karena kita orang miskin, ngobrol bisa dengan si Lenin tapi nggak dengan si Lenon. Bareng mandi dikali dengan si Setalin , karena belum sangggup punya ledeng seperti rumah si Stalllone. Kita lagi prihatin. Makanan harus dijatah, dan makan harus antri. Sampai suatu saat paman-paman dan tante-tanteku protes karena makanan di kuali semakin tidak sedap. Mau masakan tetangga yang semakin enak tercium dihidung. "Masakan kurang garam !" protes mereka. Harus terjadi alih generasi di dapur ini ! Akhirnya kakekku di kudeta. Jadilah pamanku menjadi koki baru di dapur kecil itu. Pamanku si Harata memang moy.

Jaman paman Harata, makanan di kuali memang semakin sedap. Ada merica, garam, dan beberapa jenis rempah-rempah lainnya yang membuat lidah menari-nari. Karena masakan masih terus dianggap kurang rempah maka untuk melengkapi agar sesuai dengan selera, pamanku minjam duit dari tetangga. Masakan pamanku semakin enak. Maka rame-rame para tetangga untuk meminjamkan duitnya untuk membeli rempah-rempah dan penyedap rasa, tentu mereka juga kebagian melahap dan menyantap makanan hasil masakan didapur kecil itu. Setiap hari ada pesta pora. Ada pesta untuk paman Liem, paman Bob, paman Edy. Celakanya anak-anak paman Harata juga bikin pesta sendiri-sendiri, dan semuanya pinjam duit tatangga.

Karena pamanku yang lain kagak kebagian kecipratan pesta maka mereka ngambek dan marah-marah sampai akhirnya meminta paman Harata untuk lengser keprabon. Pengganti Paman Harata, yakni Paman Propesor Kalkulus suka nongkrong di dalam dapur kecil ini. Bukan untuk masak nasi atau bakar ikan asin tapi sibuk ngurus piring kotor sehabis "pesta pora" tadinya. Untuk membuat dapur kita lebih canggih, kata pamanku ini, kita harus melakukan alih teknologi. Jadilah di dapur kecil ini punya satu mesin cuci itupun kreditan. Belum semua piring bersih tercuci, masuklah Paman Gober ke dalam dapur kecil ini tertatih tatih ditenteng oleh anaknya. Akibat kurang hati-hati, dan masih bercelana pendek bangun pagi tak terus mandi, dan belum minum kopi secukupnya. Kakinya nyerempet susunan piring sehingga piring-piring itu jatuh terpecah berkeping keping. Paman Gober berjanji lain kali akan "melihat" dengan hati hati. Apa boleh buat, anak-anak belum pada makan, anak-nak semakin lapar.

Giliran selanjutnya menjadi kepala koki di dapur kecil kami adalah seorang wanita: Tante Margotwati. Mungkin karena selama ini para "lelaki" tidak begitu "jantan" sebagai kepala koki. Tante Margot berteori bahwa untuk membaut masakan lebih sedap harus dengan diam-diam seribu bahasa, mungkin supaya ludahnya tidak kecipratan. Kembali Tante Margot ikut "tradisi" minjem duit juga sekaligus memunguti "pecahan beling" tersebut dan menjualnya ke pasar loak.

Sampailah dapur kami pada zaman "clingak clinguk" habis nggak ada lagi masakan dan piring untuk makan. Hampir semua pecah dan belingnyapun habis dijual ke pasar loak. Di sudut sempit nan gelap dapur kecil ini, Paman Yoko Ono termenung, anak-anak masih nangis merengek-rengek minta makan, sambil mengisap isap tulang belulang bekas pesta pora tetangga. Atap rumah bocor, selokan meluap, rumah kebanjiran, dinding retak karena gempa, air laut yang sudah sampai kedapur. Akh aku kagak tau apa tradisi minjam duit dari tetangga masih harus diteruskan? Terus mau pinjam dari tetangga mana? "kiri" atau "kanan"? Tetangga yang pake "sorban" atau yang berpakean "cowboy". Sudahlah Paman, tidah usah bermimpi untuk berpesta. Kami juga tidak mengharapkannya. Yang kami minta hanyalah sesuap nasi untuk mengganjal perut yang semakin keroncongan. Sesudah ini kalau masih ada minyak tanah di dapur buatkan kami lampu teplok supaya bisa membaca dimalam hari. Supaya kami bisa belajar memperbaiki dapur yang sudah reot ini.

Saturday, August 19, 2006

Efek Undang-undang Syariah

Lagi marak membuat undang-undang syariah. Beberapa kabupaten di Indonesia membuat undang-undang yang memakai nama yang berbeda-beda tetapi pada prinsipnya isinya adalah melakukan system syariah Islam dengan penerapan hukum positip.

Saya melihat indikasi ini adalah ketakutan teman-teman yang beragama Islam. Syariah Islam disodorkan sebagi satu solusi pada penyakit sosial dan semakin kurangnya penerapan kehidupan keagaman pada umat Islam. Di sisi lain ini juga membuat preventif perpindahan umat Islam menjadi pemeluk agama lain. Ironisnya, keadaan ini akan membuat pandangan orang terhadap agama Islam semakin miring. Sejak Perang Salib hingga 11 September 2001 gaung represif yang dilakukan oleh sebagian umat Islam telah membuat agama ini semakin tidak menarik simpati umat.

Seharusnya agama Islam yang jauh lebih tua dan lebih agung dari negara ini tidak bersandar pada kekuatan undang-undang positif satu negara. Kalau besok-besok undang-undangnya diganti, apa dogma agamanya harus direvisi lagi? Apalagi yang namanya undang-undang harus dibarengi dengan enforcement, ini membuat Syariah Islam menjadi satu hal yang dipaksakan. Essence agama adalah persuasi. Iman tidak bisa dipaksakan, hanya bisa dipupuk ditumbuhkan dengan argumentasi. Walaupun termasuk manipulasi emosi, agama tidak bisa dan tidak adil jika dikembangkan dengan kekuasaan, intimidasi dan pemaksaan. Kalau kita mau memasuki dunia yang lebih manusiawi, lebih demokratis maka agama harus dilarang melakukanpemaksaan. Agama harus mengembangkan kemampuan berkomunikasi, berargumentasi dan persuasi.

Memang betul proses pembuatan Undang-undang Syariah di Indonesia telah melalui prosedur yang sangat demokrasi. Tetapi harus juga disadari bahwa undang-undang itu tidak biasa parsial. Hanya melindungi dan aplikatif pada sebagian anggota masyarat.

Kasihan juga pada sebagian Umat Islam yang benar-benar tulus melaksanakan ibadahnya. Keadaan ini bukannya membuat Islam semakin cemerlang sebagai 'the religion peace". Tetapi sebaliknya membuat agama Islam semalin sukar dalam penyiarannya, akibat ulah sebagaian umatnya yang takut melihat penurunan angka di statistik semata.

Tuesday, July 04, 2006

Jusuf Kalla dan Urusan Syahwat

Saya kaget dengan pemberitaan The Jakarta Post 06/29 di forum pertemuan resmi dimana wartawan2 domestik maupun luar negeri berkumpul. Artikel dengan judul "VP moots using women in Arab tourism push" memberikan kesan bahwa Wakil President Jusuf Kalla mendukung dan bahkan mendorong perempuan-perempuan Indonesia untuk "dikawin kontrak" oleh lelaki Arab - supaya ada perbaikan keturunan. Apakah JK tidak tau kalo "kawin kontrak" ini cuma akal-akalan lelaki Arab hidung belang - yang kagak mau bayar mahal untuk ongkos syahwatnya!!


Monday, May 29, 2006

Gunung Merapi Meletus

Beberapa hari yang lalu terjadi gempa vulkanik di Jogjakarta. kasihan sekali mereka, setahu saya kebanyakan penduduk disekitar Merapi adalah petani. Terus di Sacramento Bee pada tanggal 28 May 2006, mengekspose berita ini di headline halaman pertama. Untunglah sudah banyak bantuan yang datang dari negara-negara tetangga dan sahabat. Tetapi pada kemana negara-negara Islam? Negara-negara Timur Tengah? Arab Saudi, dll? Tetapi mengapa mereka; negara-negara barat yang sekuler,kristen dan kafir; yang pertama tergopoh-gopoh ingin segera membantu musibah di Indonesia yang konon dekat dengan kebudayaan Arab. Mengapa negara-negara Arab yang kaya selalu lamban bahkan tidak membantu?
Ah, kali budaya kita orang Asia yang pada cuek kalau masalah kagak bersentuhan dengan diri sendiri, apalagi kalau masalah itu kagak punya potensi bermasalah dengan kampung tengah. Buktinya saya sendiri belum telp sanak famili di Indonesia menanyakan apakah mereka sehat walafiat. Tadi pagi istriku tunjukin koran dari rumah sakit tempat dia kerja. Katanya dia dibeliin temannya dari department lain karena adanya berita tentang Indonesia. "Apa keluarga mu selamat?", tanyanya ke istriku. "Tidak tau", "Apa sudah call mereka?", desaknya lagi, juga istriku hanya bisa geleng kepala. Duh si bule yang lahir dan dibesarkan di negeri super cuek dan sekuler ini masih sempat-sempatnya mikirin negeriku. Boro-boro aku dengan isriku.
Tapi tunggu dulu, mungkin saudara-saudara dari negara-negara Islam udah bantu kali, tapi mereka kagak mau diekspose besar-besaran seperti bantuan negara-negara barat. Maklumlah bagi kaum muslimin saling membantu sudah berjalan sendirinya dalam sendi kehidupan dan syariat, tanpa harus digembar-gemborkan. Sementara pihak barat memang getol menggembar gemborkan kebajikan mereka, yang sebenarnya adalah agenda tersembunyi. Ceunah !
Tapi kok saya punya ide yang berbeda. International community selalu memberikan bantuan kemanusiaan kepada korbannya, siapapun mereka. Mereka tidak bertanya dulu apa korban seagama, se-ethnis dan pertimbangan picik lainnya. Berlainan dg tuduhan 'kristenisasi' melalui pembagian Indomie yang sering dituduhkan. Seharusnya bantuan kemanusiaan diberikan secara tulus dan rela hati oleh semua orang yg berperikemanusiaan. Bantuan kemanusiaan adalah masalah nurani dalam tindakan humanis dalam bukan sekedar ritus religi.
Isriku punya teori seperti ini, "Umat Islam percaya akan nasib setiap orang sudah ditentukan sebelum dia lahir. Apakah dia hidup makmur, hidup sengasara, kena musibah atau tidak, apakah seseorang masuk sorga atau neraka. Menolong orang yang sudah ditakdirkan untuk kena musibah dianggap menentang Allah!". Ach, istriku sok tau. Tau apa dia dengan filosofi keagamaan.
"Ingat ketika Tsunami tiba?", tambah istriku, dia nggak mau kalah, "Mufti Saudi Arabia segera mengeluarkan pernyatan bahwa kesemuanya ini bukti bahwa Allah mengutuk kaum kafir! Soalnya pada hari pertama sesudah Tsunami yg dikabarkan terkena musibah adalah Sri Lanka dan Thailand yg jelas dianggap sebagai kafir - makanya pantaslah kalau kena tulah! Begitu juga ketika gempa bumi raksasa melanda kota Bam, Iran. Saudi Arabia yg begitu dekat tidak memberikan bantuan karena korbannya adalah pengikut ajaran Shi'ite!" Aku terkagum-kagum dengan istriku, yang kukira dia hanya tau perban dan jarum suntik, ternyata doi juga baca koran. Tapi kok ide doi berbau provokasi di tengah tengah bencana kieu, kumaha ieu teh?
Jangan khawatir istriku yang cantik, "Arab pasti membantu, mungkin bulan depan, mungkin juga dua bulan lagi, atau tahun depan. Saya akui dech "orang-orang kafir" memang selalu paling cepat dalam mengulurkan tangan. Entah apa yang membuat mereka begitu rasional? mungkinkah karena sebenarnya "kafir" maupun "non kafir" sama -sama di ciptakan Tuhan? sama - sama manusia sehingga solidaritas kemanusiaan lebih penting dibanding solidaritas keyakinan? Percaya deh, ketika umat manusia apapaun suku bangsa dan latar belakang keyakinannya saling bahu membahu untuk memberikan pertolongan, dunia ini menjadi lebih indah untuk ditempati."

Monday, May 01, 2006

Pendakian Gunung

Einstein yang mengatakan bahwa hidup bagi dia adalah seperti mendaki gunung yang kita tak tahu puncaknya. Hiburannya bukan dengan mencapai puncak gunung, hiburannya diperoleh ketika kita beristirahat sejenak dan melihat indahnya pemandangan dari ketinggian. Setelah itu, kita mendaki lagi.