Ads 468x60px

Wednesday, August 10, 2005

Pluralisme dalam Jemaat

Sabat yang lalu saya bertemu dengan salah satu delegasi Indonesia untuk Rapat General Conference yang baru saja di selenggarakan di St Louis. Teman itu cerita bahwa adanya persaingan antar suku di MAHK Indonesia untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam organisasi. Kelompok dari Tapanuli berusaha mendominasi posisi-posisi strategis dalam gereja. Sikap ini memicu ketidakpuasan kelompok etnik lain. Keadaan ini diperburuk lagi dengan adanya kelemahan managemen pada tingkat pimpinan gereja dan beberapa kaum awam dalam gereja yang memang haus akan popularitas.



Gereja Advent masuk ke Indonesia tahun 1900 di Sumatera Barat, Seratus lima tahun yang lalu sodara-sodara ! Mestinya gereja dan jemaat telah meninggalkan cara-cara yang kekanak-kanakan dan memasuki usia matang. Kematangan itu diperlihatkan dengan menampilkan cara-cara yang lebih elegan di dalam menjalin relasi di antara jemaat yang terdiri dari puluhan suku-suku dan bangsa.


Keaneka ragaman justru adalah berkat bagi gereja sebab dengan demikian umat dapat mengenal Allah dari berbagai perspektif yang ada, sesuai dengan budaya masing-masing. Di dalam jaman ini, tidak mungkin lagi kita menjumpai masyarakat yang homogen. Kelompok Batak di satu gereja, kelompok Manado di gereja yang lain, kelompok Chinese di jemaat yang lain. Pernikahan antar suku dan mobilitas yang begitu cepat dan tinggi saat ini, monopoli suku tertentu adalah kontraproduktif. Sebaliknya, heterogenitas adalah sesuatu yang makin lazim. Kalau tidak, kita akan terjebak di dalam isolasi diri. Ini artinya mempermiskin diri sendiri. Dalam publikasi Barna Institute dijelaskan bahwa Gereja-gereja yang bersifat lokal dan kesukuan cenderung ditinggalkan orang. Kalau begitu mengapa harus mempertahankan monopoli kedudukan dalam jemaat untuk kepentingan suku tertentu?


Memang betul menerapkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari tergantung pada orang perorang. Penerapan ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang masing-masing sebab titik berangkat tiap orang bersifat subjektif. Tetapi ketika sudah didalam gereja pandangan-pandangan subjektif harus dipahami sebagai objektif, sebagaimana mamang sifat gereja. Menyadari ketimpangan yang ada sekarang ini, kelapangan berpikir dan tindakan pimpinan gereja sangat perlu. Pluralisme di dalam gereja harus diatur sedemikian rupa sehingga semangat premordialisme dalam jemaat dapat digantikan dengan semangat keesaan gereja yang utuh.

No comments: