Ads 468x60px

Friday, September 05, 2014

Kelapa Sawit: Tinjauan Politik dan Bisnis (1)


Oil Palm Farm


Sebenarnya aku tidak tahu banyak tentang politik, ekonomi, dan kelapa sawit. Politik yang aku tahu hanya sebatas pileg dan pilpres yang belakangan ini kuikuti lewat online streaming. Ekonomi yang aku tahu hanya sebatas kolom-kolom debet kredit yang ku pelajari dahulu kala dimasa di SMP dulu. Kelapa sawit yang kutahu adalah kebun milik pemerintah di sisi jalan setapak menuju desa nenekku. Kebun dimana masa liburan sekolahku dulu dihabiskan untuk mencari pelepah sawit untuk dijadikan kayu bakar. Kebun dimana dulu pernah dikejar-kejar kerani kebun karena dipikir kami mencuri buah-buah sawit yang indah itu. Selain itu, yang aku tahu kelapa sawit adalah salah satu investasi favorit sebagian pejabat yang korup. Itulah yang aku baca di koran. Kebenarannya tentu aku tidak tahu.
Kelapa sawit sejatinya bukan tanaman asli Indonesia. Menurut ceritanya kelapa sawit berasal dari Afrika. Ditanam para bule-bule londo sebagai tanaman hias di Kebun Raya Bogor. Warna buahnya yang memang indah: kuning, orange, dan merah jingga; pelepahnya yang melambai bak pohon palma, membuat tanaman ini cocok ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias.


Ternyata selain keindahannya, tanaman ini juga memiliki keuntungan lain, yakni menghasilkan minyak. Konon kabarnya, kelapa sawit adalah tanaman penghasil minyak nabati tertinggi dibandingkan tanaman-tanaman lain. Oleh sebab itu, tanaman hias ini kemudian dibudidayakan untuk tujuan komersial. Memang Tuhan itu baik pada negeriku, Ia menganugrahkan alam Indonesia yang cocok untuk budidaya kelapa sawit. Berkah tersebut, tidak diberikanNya kepada negara-negara di Afrika, sebagai asal tanaman kelapa sawit, maupun kepada negara-negara di Eropa, sebagai bangsa pertama yang mengembangkan kelapa sawit. Jadilah perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Deli Serdang dan Aceh. Perkebunan tersebut sebenarnya ada hubungannya dengan politik Cultuurstelsel sang kolonial. (Baca: Sistem Tanam Paksa.)

Pada masa penjajahan Belanda, bisnis kelapa sawit maju pesat sampai bisa menggeser dominasi negara-negara Afrika. Pada waktu itu, Indonesia merupakan pemasok utama minyak sawit dunia. Namun kemudian pada masa pendudukan Jepang, bisnis kelapa sawit mengalami kemunduran sebab jepang lebih memilih biji jarak sebagai sumber minyak dan energi. Begitulah ternyata anugrah Tuhan pada negeriku, justru bangsa penjajahlah yang menikmati hasil keuntungan industri kelapa sawit Indonesia, yakni sejak jaman kolonial hingga program nasionalisasi tahun 1959. (Baca: Nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia)

Setelah program nasionalisasi, pemerintah mengambil alih perkebunan. Alih-alih kelapa sawit digunakan untuk kepentingan rakyat banyak, industri ini hanya dinikmati oleh sekelompok orang. Untuk mengamankan jalannya produksi dan alasan politik dan keamanan, pemerintah meletakkan perwira militer di setiap jenjang manejemen perkebunan. Pemerintah juga membentuk BUMIL (Buruh Militer) yang merupakan kerja sama antara buruh perkebunan dan militer. Perubahan manejemen dalam perkebunan dan kondisi sosial politik serta keamanan dalam negeri yang tidak kondusif, menyebabkan produksi kelapa sawit menurun dan posisi Indonesia sebagai pemasok minyak sawit dunia terbesar digeser oleh Malaysia.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan perkebunan diarahkan dalam rangka menciptakan kesempatan kerja. Bisa dikatakan bahwa industri kelapa sawit kurang berkembang. Pada tahun 1980, luas lahan hanya mencapai 294.560 Ha.
Pada akhir tahun 1980-an, Indonesia mencanangkan program PBSN (Perkebunan Besar Swasta Nasional), pengembangan perkebunan kelapa sawit dimulai kembali.  Perkebunan besar secara bersamaan diminta untuk membangun perkebunan untuk rakyat melalui program kebun Inti-Plasma (Nucleus Estate Smallholder). Program ini kemudian dikembangkan lebih luas yang disinergikan dengan Program transmigrasi (PIR-TRANS). Sejak itu lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan rakyat. Hal ini didukung oleh kebijakan Pemerintah yang melaksanakan program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR – BUN). (Baca: Pertumbuhan Produksi Minyak Sawit Indonesia 1964-2007. )

Luas areal tanaman kelapa sawit terus bertambah. Permintaan produk olahan terus meningkat. Ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia antara lain ke Belanda, India, Cina, Malaysia dan Jerman, sedangkan untuk produk minyak inti sawit (PKO) lebih banyak diekspor ke Belanda, Amerika Serikat dan Brazil.
Akankan negeri ku akan makmur oleh tanaman anugrah Tuhan ini ? atau bagai ayam mati kelaparan di lumbung padi?

No comments: