Tersebutlah satu kisah tentang bratayudha di milis AI di negeri maya. Antara murid-murid dari kaki Gunung Burangrang dan murid-murid dari kaki Gunung Klabat. Aku tidak tahu, dan tidak mau tahu, apakah perang ini diilhami pertempuran yang baru-baru ini terjadi antara salah satu murid dari padepokan Adelaide di Aussie dengan murid dari padepokan Andrews dari negeri Paman Sam. Pertempuran tidak melukai kulit tapi yang kutakutkan ada luka yang lebih dalam di dada. Tapi sebelum harapanku untuk gencatan senjata terlaksana, ku ajaklah dirimu untuk sedikit "menikmati" pertempuran ini. Entah kenapa saya lebih menikmati peran menjadi penonton daripada pemain. Dan sebagai penonton teriakan saya akan lebih nyaring dan lebih kuat, dan juga lebih panas. Saya juga tidak bernaksud sebagai Semar yang memberi nasehat pada para Pandawa dan Kurawa, hanya pengen jadi penulis dan saksi perjalanan sang kala. Dengan harapan dan mudah-mudahan anak cucu saya dikemudian hari belajar dari coretan-coretan saya. Itu saja tidak lebih.
Awal ceritanya dimulai dengan autokritik murid dari Padepokan Gunung Burangrang pada almamaternya. Kekecewaannya atas kualitas adik-adik seperguruannya yang semakin menurun. Mungkin dulu dia mengingat kakak-kakak seperguruannya sudah khatam dalam ilmu jingkang, shilat, ilmu totok, jurus si kunyuk melempar buah, dan ilmu-ilmu mandraguna lainnya sebelum ditamatkan dari padepokan. Sekarang justru adik-adik seperguruannya babak belur ditonjokin anak-anak terminal yang kagak pernah asah taji. Terus doi juga protest tentang mahalnya uang pembayaran. Barangkali dulu bisa bayar pake ayam, jagung, atau singkong ; dan resi-resi pada waktu itu dengan senang hati menerimanya. Bahkan menurut catatan para pujangga resi-resi pada waktu itu sudi membiarkan murid-muridnya untuk membajak kebun dekat pondoknya demi murid-muridnya bisa menuntut ilmu lebih baik. Memang kecintaan seorang murid pada padepokannya membuatnya menyampaikan keluhan itu, demi harkat dan martabat serta kelangsungan nama besar padepokan dimana dia pernah diasuh.
Entah bagaimana ceritanya, berita ini sampai pada murid-murid Gunung Klabat. Maka terjadilah tertempuran yang sengit ini. Posting dilawan dengan posting, pesan diserang dengan pesan, tidak lupa dibumbui dengan mantra dari kitab suci, Lagu Sion dan kutipan dari Tante White. Tapi apa hendak dikata. Itulah konsekuensi kemajuan teknologi informasi. Kalau dulu guru-guru mereka mengajar mereka dengan menerbangkan lesung untuk menyerang kampung musuhnya, murid -murid sekarang lebih canggih lagi, dengan bermodalkan keyboard komputer dan ilmu nyetik sebelas jari lawan disana bisa darah tinggi, serangan jantung bahkan stroke. Efeknya hampir mirip dengan santet !
Dalam perang ini, ada yang memakai identitas samaran, kadang-kadang dua atau tiga. Ada yang memakai identitas asli. Ada yang ketika menulis tidak memakai celana (siapa yang bisa melarang?). Ada yang memakai celana. Ada yang menulis di rumahnya. Ada yang mencuri-curi fasilitas kantor. Ada yang menulis dengan jujur. Ada yang menulis karena dia tidak tahu harus berbuat apa lagi (isteri/suaminya menolak bersebadan dengannya; jadi dia uring-uringan). Ada mahasiswa. Ada gurubesar. Ada orang waras. Ada orang gila. Wuah, macam-macam!
Berdasarkan kenyataan-kenyataan seperti tersebut di atas, maka hal paling maksimal yang bisa peroleh dalam diskusi maya hanyalah: Membaca pesan yang baik yang bisa memperkaya wawasan. Itu saja. Adapun pesan yang tak memperkaya wawasan, ya di-"skip" atau di-"delete" saja. Atau, kalau ada sebuah pesan yang perlu dikoreksi atau diluruskan, ya marilah kita menuliskannya dengan baik.
Jangan coba-coba membayangkan apa profesi, almamater, orientasi seks, afiliasi politik seorang penulis di sebuah milis. Percuma. Dalam diskusi di dunia maya, hal ini juga kurang relevan dan bisa membuat sakit jiwa. Jangan pernah membayangkan teman diskusi anda sebagai seorang perempuan semampai, bertubuh "gitar spanyol" dan punya wajah aduhai, seperti Sarah Azhari, Sarah Fawcett, Sarah Fergusson, atau Sarah-Cornelia Agatha-Si Doel. Kalau ternyata teman diskusi anda adalah seorang lelaki bertubuh kecil dan punya janggut panjang beberapa lembar di dagu, wuah bisa buyar fantasi anda, dan sakit jiwa.
Adapun tentang hal "ledek-ledekan" almamater seperti yang sedang terjadi ini, ya saya juga ikut merasa prihatin. Tapi sebenarnya apa yang sedang terjadi di milis ini adalah juga gambaran dari apa yang sedang terjadi di tengah masyarakat gereja Advent. Konflik antara Indonesia Barat dan Indonesia Timur; konflik antara kawanua dengan "halak kita"; Manado lawan Batak. Saban hari di gereja kita memang hanya ngomongin konflik ini melulu. Takutnya kita sudah tak punya waktu untuk mengurusin hal-hal yang berkaitan dengan evangelisasi dan jangkauan keluar. Hampir semua isyu atau kejadian selalu "dilarikan" atau "ditekuk" menjadi isyu etnik. Bantuan dari divisi dilarikan ke isyu etnik.Pendidikan dilarikan ke isyu etnik. Korupsi dilarikan ke isyu etnik. Pemilihan Pimpinan Uni dilarikan ke isyu etnik. Pengangkatan pendeta dilarikan ke isyu etnik. Tapi kalau kita bisa mengerti bahwa semua ini adalah bagian dari politisasi agama, maka sebenarnya kita tak perlu terlalu emosional untuk menanggapinya.
Mengamati soal debat saling ledek menghina di milis jadi ingat dua kelompok anak desa yang dipisahkan sebuah sungai. Kalau mereka cekcok musuhan, kedua belah pihak ambil posisi diluar jangkauan lemparan batu. Kemudian saling teriak memaki orang tua sampai nenek moyang. Lemparan batu yang jatuh keseberang diteriaki ...hoo nggak kena... Malah ada yang buka celana sambil menunggingkan pantatnya. Lawan diseberang tak kalah sewot, langsung teriak : ..emang lu kecakepan ya ... tahu pantat lu kayak muka gue... hoo...
Dunia cyber jelas lebih lebar dari sungai, tak terlihat tak terjangkau lemparan batu. Mari kita lebih memfokuskan diri kepada bobot pesan ketimbang siapa yang menyampaikan pesan. Jangan emosi, ambil manfaat buang mudarat.
Saturday, August 26, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment