Monday, September 03, 2007
Cinta dan Sang Kala
"Jangan kau kira cinta datang dari keakraban yang lama dan pendekatan yang tekun. Cinta adalah anak kecocokan jiwa dan jika itu tidak pernah ada, cinta tak akan pernah tercipta dalam hitungan tahun bahkan millenia..." - Kahlil Gibran
Thursday, August 09, 2007
Jejak Kaki
Detak datik semakin berdentang di genderang telinga
Sementara malam semakin larut dalam malam yang mencekam
Ku baringkan tubuh yang adalah bangkai dengan alunan nafas
Dan menatap jejak-jejak kaki yang terlalui
Pilihan-pilihan telah kubuat dimasa lalu
Tentu itu menggiring ku pada peraduan malam ini
Entah bagaimana bila tubuhku diranjang yang lain
Apakah ku bisa beristirahat tenang atau bermimpi
Kadang nafas berat dalam ranjang ini
Dan merindukan tirai yang keras juga kasar
tapi juga ada kelembutan dan kehalusan
Dan tentu buaian dan cinta juga
Kututup mata ku pada dini ini
Mengharap nafas masih bersamaku hingga esok
Namun bila tidak juga tidak mengapa
Toh aku merasa bumi hanya mimpi
kadang sendiri
kadang ramai
dan kadang sepi
Sementara malam semakin larut dalam malam yang mencekam
Ku baringkan tubuh yang adalah bangkai dengan alunan nafas
Dan menatap jejak-jejak kaki yang terlalui
Pilihan-pilihan telah kubuat dimasa lalu
Tentu itu menggiring ku pada peraduan malam ini
Entah bagaimana bila tubuhku diranjang yang lain
Apakah ku bisa beristirahat tenang atau bermimpi
Kadang nafas berat dalam ranjang ini
Dan merindukan tirai yang keras juga kasar
tapi juga ada kelembutan dan kehalusan
Dan tentu buaian dan cinta juga
Kututup mata ku pada dini ini
Mengharap nafas masih bersamaku hingga esok
Namun bila tidak juga tidak mengapa
Toh aku merasa bumi hanya mimpi
kadang sendiri
kadang ramai
dan kadang sepi
Tuesday, March 13, 2007
Tuhan hadir dalam bencana?
Renungan Utama Rebuska tanggal 10 Maret 2007 berjudul "Karya Penciptaan bagi Kemuliaan Tuhan" ditulis oleh Caddy Malonda. Pada awal tulisannya Malonda membawa para pembaca untuk merenung sejenak pada peristiwa di sekeliling; urutan bencana yang seakan-akan antri untuk menunjukkan manifestasinya. Kemudian pembaca diajak pada satu pertanyaan retorik "mengapa peristiwa demi peristiwa demikian terjadi"? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering kita tanyakan ketika mengalami malapetaka. Dimana Tuhan ketika gempa bumi dahsyat, tsunami, banjir besar, tanah longsor, bom dan terorisme, lumpur panas, dan busung lapar?
Tentu saja jawaban-jawaban "mudah" sudah tersedia. Ini adalah hukuman. Ini adalah azab yang mesti dijalani manusia berdosa. Mungkin saja jawaban-jawaban itu ada benarnya. Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa Allah menghukum orang-orang yang baik?
Di dalam teologi Kristen, ada suatu prinsip dimana Allah selalu dianggap benar dalam konteks malapetaka dan kejahatan. Allah tidak dapat dipersalahkan. Sehingga di dalam kebaktian-kebaktian penghiburan ketika orang mengalami malapetaka, demi tujuan pastoral, cara berpikir ini mungkin menolong. "Allah tentu mempunyai maksud baik," demikian selalu dikatakan. Boleh jadi juga orang yang berduka atau yang ditimpa kemalangan merasa terhibur.
Pertanyaan-pertanyaan yang, kendati tidak secara verbal ditanyakan ini, sesungguhnya tertanam di dalam sanubari setiap orang. Pertanyaan ini menghujam kepada pertanyaan mengenai eksistensi Allah sendiri. Jawaban untuk pertanyaan ini tidak sesederhana pertanyaannya atau barangkali tidak pernah ada jawabannya yang logis.
Jalinan argumentasi yang disajikan Malonda membawa pembaca pada satu konklusi bahwa apa pun yang telah dan akan terjadi, anda tidak pernah akan kehilangan nilai di mata Tuhan. Benar-benar ini suatu kesimpulan yang menguatkan hati.
****
Saya sedikit terusik bahwa jawaban pertanyaan awal belum terjawab hingga akhir renungan. Sebagai pembaca saya merasa bahwa ada satu mata rantai yang hilang yang menghubungkan pertanyaan awal dengan konklusi Malonda. Dan saya saat menulis tanggapan ini belum dapat jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu.
Mempertanyakan peranan Tuhan saat bencana merupakan sebuah pertanyaan dasar manusia, yang tersadar akan ketidakberdayaannya terhadap segala bencana. Ketidakberdayaan ini memberi kesempatan manusia untuk belajar 'refleksi diri'. Refleksi atas ketidakberdayaan dan keterbatasan ini merupakan salah satu cara manusia bereksistensi di tengah dunia. Itulah yang diyakini filsof Karl Jaspers, sang filsuf eksistensialis dari Jerman.
Persoalannya "apakah hasil refleksi atas 'keterbatasan' ini membuat manusia yang tidak berdaya menemukan titik balik untuk mengolah diri sendiri?" Menjawab pertanyaan : "bagaimanakah kita membuat sebuah manajemen bencana agar ada sebuah sistem yang antisipatif meminimalkan korban?" Orang yang bisa membuat "titik balik" dengan belajar dari bencana adalah orang yang tidak "frustrasi" terhadap 'keterbatasan', melainkan orang yang memiliki keyakinan positif bahwa di balik 'keterbatasan' ada harapan untuk tetap mempertahankan kehidupan. Di situlah, saatnya orang tidak hanya bertanya, "di manakah Tuhan berada di saat bencana", melainkan lebih suka berkata, "Tuhan, saya tahu bahwa aku berharga di matamu. Saya mau turut serta mengolah dunia yang Engkau percayakan kepadaku!"
Kaum fatalis tiap kali ada kecelakaan atau malapetaka nyebut: "Tuhan!", lalu, ini sering terjadi, dia zikir atau berdoa kepada Tuhan untuk dihindarkan dari kecelakaan atau malapetaka dimasa yang akan datang, atau membuka kitab suci mencari pembenaran bahwa bencana adalah takdir yang harus diterima menjelang ajal dunia; alias berpangku tangan saja. Sedangkan seorang Mualif akan berusaha mencari sebab kecelakaan atau malapetaka itu dan berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk mengambil langkah buat menghindarkan kecelakaan yang sama dimasa yang akan datang atau bersiap-siap untuk menghadapinya bila malapetaka yang sama datang lagi.
"Pengolahan dunia" menjadi tanggung jawab moral manusia terhadap Tuhan dan sesamanya. Sebab manusia adalah karya ciptaan Tuhan yang utama. Pengolahan dunia, khususnya Indonesia, yang diwarnai berbagai bencana, membutuhkan sebuah manajemen bencana. Karena itu, orang mesti rela belajar membuat "titik balik", bukan meratapi bencana, melainkan belajar dari bencana, supaya harapan akan kelangsungan hidup menjadi nyata, karena Tuhan abadi.
Tentu saja jawaban-jawaban "mudah" sudah tersedia. Ini adalah hukuman. Ini adalah azab yang mesti dijalani manusia berdosa. Mungkin saja jawaban-jawaban itu ada benarnya. Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa Allah menghukum orang-orang yang baik?
Di dalam teologi Kristen, ada suatu prinsip dimana Allah selalu dianggap benar dalam konteks malapetaka dan kejahatan. Allah tidak dapat dipersalahkan. Sehingga di dalam kebaktian-kebaktian penghiburan ketika orang mengalami malapetaka, demi tujuan pastoral, cara berpikir ini mungkin menolong. "Allah tentu mempunyai maksud baik," demikian selalu dikatakan. Boleh jadi juga orang yang berduka atau yang ditimpa kemalangan merasa terhibur.
Pertanyaan-pertanyaan yang, kendati tidak secara verbal ditanyakan ini, sesungguhnya tertanam di dalam sanubari setiap orang. Pertanyaan ini menghujam kepada pertanyaan mengenai eksistensi Allah sendiri. Jawaban untuk pertanyaan ini tidak sesederhana pertanyaannya atau barangkali tidak pernah ada jawabannya yang logis.
Jalinan argumentasi yang disajikan Malonda membawa pembaca pada satu konklusi bahwa apa pun yang telah dan akan terjadi, anda tidak pernah akan kehilangan nilai di mata Tuhan. Benar-benar ini suatu kesimpulan yang menguatkan hati.
****
Saya sedikit terusik bahwa jawaban pertanyaan awal belum terjawab hingga akhir renungan. Sebagai pembaca saya merasa bahwa ada satu mata rantai yang hilang yang menghubungkan pertanyaan awal dengan konklusi Malonda. Dan saya saat menulis tanggapan ini belum dapat jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu.
Mempertanyakan peranan Tuhan saat bencana merupakan sebuah pertanyaan dasar manusia, yang tersadar akan ketidakberdayaannya terhadap segala bencana. Ketidakberdayaan ini memberi kesempatan manusia untuk belajar 'refleksi diri'. Refleksi atas ketidakberdayaan dan keterbatasan ini merupakan salah satu cara manusia bereksistensi di tengah dunia. Itulah yang diyakini filsof Karl Jaspers, sang filsuf eksistensialis dari Jerman.
Persoalannya "apakah hasil refleksi atas 'keterbatasan' ini membuat manusia yang tidak berdaya menemukan titik balik untuk mengolah diri sendiri?" Menjawab pertanyaan : "bagaimanakah kita membuat sebuah manajemen bencana agar ada sebuah sistem yang antisipatif meminimalkan korban?" Orang yang bisa membuat "titik balik" dengan belajar dari bencana adalah orang yang tidak "frustrasi" terhadap 'keterbatasan', melainkan orang yang memiliki keyakinan positif bahwa di balik 'keterbatasan' ada harapan untuk tetap mempertahankan kehidupan. Di situlah, saatnya orang tidak hanya bertanya, "di manakah Tuhan berada di saat bencana", melainkan lebih suka berkata, "Tuhan, saya tahu bahwa aku berharga di matamu. Saya mau turut serta mengolah dunia yang Engkau percayakan kepadaku!"
Kaum fatalis tiap kali ada kecelakaan atau malapetaka nyebut: "Tuhan!", lalu, ini sering terjadi, dia zikir atau berdoa kepada Tuhan untuk dihindarkan dari kecelakaan atau malapetaka dimasa yang akan datang, atau membuka kitab suci mencari pembenaran bahwa bencana adalah takdir yang harus diterima menjelang ajal dunia; alias berpangku tangan saja. Sedangkan seorang Mualif akan berusaha mencari sebab kecelakaan atau malapetaka itu dan berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk mengambil langkah buat menghindarkan kecelakaan yang sama dimasa yang akan datang atau bersiap-siap untuk menghadapinya bila malapetaka yang sama datang lagi.
"Pengolahan dunia" menjadi tanggung jawab moral manusia terhadap Tuhan dan sesamanya. Sebab manusia adalah karya ciptaan Tuhan yang utama. Pengolahan dunia, khususnya Indonesia, yang diwarnai berbagai bencana, membutuhkan sebuah manajemen bencana. Karena itu, orang mesti rela belajar membuat "titik balik", bukan meratapi bencana, melainkan belajar dari bencana, supaya harapan akan kelangsungan hidup menjadi nyata, karena Tuhan abadi.
Subscribe to:
Posts (Atom)