Ayah saya meninggal dunia tanggal 10 September yang lalu setelah mengalami Cerebrovascular Accident. Sebelum ayah meninggal dunia, saya dan istri berdoa agar dapat melihat ayah walau untuk yang terakhir kalinya. Tetapi Tuhan memiliki rencana lain. “Dimana Tuhan ketika saya berdoa untuk kesembuhan ayah? Bukankah dia berjanji akan memberi kalau diminta?”
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering kita tanyakan ketika mengalami malapetaka. Dimana Tuhan ketika gempa bumi dahsyat, tsunami, banjir besar, tanah longsor, bom dan terorisme, lumpur panas, dan busung lapar? David Hume, filsuf abad ke-18 pernah bertanya, "Adakah Allah bermaksud mencegah malapetaka tetapi tidak sanggup? Berarti Dia tidak Mahakuasa. Atau adakah Ia mampu, tetapi tidak mau? Itu berarti Allah tidak Mahakasih.”
Tentu saja jawaban-jawaban "mudah" sudah tersedia. Ini adalah hukuman. Ini adalah azab yang mesti dijalani manusia berdosa. Mungkin saja jawaban-jawaban itu ada benarnya. Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa Allah menghukum orang-orang yang baik?
Di dalam teologi Kristen, ada suatu prinsip dimana Allah selalu diaggap baik Di dalam menghadapi malapetaka dan kejahatan, Allah tidak dapat dipersalahkan. Memang di dalam kebaktian-kebaktian penghiburan ketika orang mengalami malapetaka, demi tujuan pastoral, cara berpikir ini mungkin menolong. "Allah tentu mempunyai maksud baik," demikian selalu dikatakan. Boleh jadi juga orang merasa terhibur.
Pertanyaan-pertanyaan yang, kendati tidak secara verbal ditanyakan ini, sesungguhnya tertanam di dalam sanubari setiap orang. Pertanyaan ini menghujam kepada pertanyaan mengenai eksistensi Allah sendiri. Pertanyaan ini tidak sederhana jawabannya. Atau barangkali tidak pernah ada jawabannya yang logis.
Melihat kegagalan logika menjawab pertanyaan ini, Karl Rahner, seorang teolog Katolik menyimpulkan,“Kita mesti belajar untuk menerima hal-hal yang tidak terpahamkan sebagai bahagian dari tidak terpahamkannya Allah sendiri. Allah mengizinkan malapetaka dan kejahatan untuk ada di dalam dunia, yang alasannya hanya diketahui oleh Allah sendiri.”
CS Lewis yang pernah menanyakan pertanyaan eksistensi ini, justru baru "mampu" memberikan jawaban ketika mengalami sendiri penderitaan pahit dengan meninggalnya sang istri. Berdasarkan pengalaman itu, ia menulis satu buku berjudul A Grief Observed. Melalui buku itu ia mengatakan bahwa jawaban-jawaban, apalagi yang bersifat teoritis-akademis, tidak pernah dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengenai keberadaan manusia dan posisi Allah di dalam konteks malapetaka.
“Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini." Ulangan 29:29
Kematian memang selalu jadi misteri. Selamat jalan Bapak ! Beristirahatlah dengan tenang sampai kita bertemu lagi.
No comments:
Post a Comment