Hatta, kisahku kumulai di jaman kakekku. Dapurnya yang sempit penuh dengan jaring laba-laba yang menghitam karena jelaga dari kayu bakar dibangunnya 61 tahun yang lalu. Kakekku baru berumah tangga jadi kagak punya apa-apa. Hanya piring-piring dan kuali-kuali bekas milik tetangga yang dihibahkan waktu pernikahannya dulu. Kakekku hanya seorang petani yang mencangkul untuk sesuap nasi. Sebagian jahe, kunyit, pala, rempah-rempah yang ditanam ayak kakekku dikebunnya dulu selalu dicuri tetangga yang nakal. Jadi, nenekku hanya bisa memasak di dapur kecil ini dari sisa-sisa jarahan tetangga keparat itu. Maklumlah karena belum ada kabe waktu itu nenekku beranak-pinak seperti kucing, tetapi walaupun demikian dapur kecil mereka masih cukup untuk mengisi perut lapar paman-paman dan tante-tenteku. Kakekku percaya suatu hari kelak akan banyak makanan yang akan dinikmati bersama secara merata. Kita harus bisa berdiri diatas kaki kita sendiri, demikian selalu kata kakekku. Demikianlah nenekku selalu dilarang pinjam garam untuk dapur kecilnya. Bukan hanya itu, paman-pamanku hanya bisa berteman dengan Karel Max tapi nggak dengan si Karl May karena kita orang miskin, ngobrol bisa dengan si Lenin tapi nggak dengan si Lenon. Bareng mandi dikali dengan si Setalin , karena belum sangggup punya ledeng seperti rumah si Stalllone. Kita lagi prihatin. Makanan harus dijatah, dan makan harus antri. Sampai suatu saat paman-paman dan tante-tanteku protes karena makanan di kuali semakin tidak sedap. Mau masakan tetangga yang semakin enak tercium dihidung. "Masakan kurang garam !" protes mereka. Harus terjadi alih generasi di dapur ini ! Akhirnya kakekku di kudeta. Jadilah pamanku menjadi koki baru di dapur kecil itu. Pamanku si Harata memang moy.
Jaman paman Harata, makanan di kuali memang semakin sedap. Ada merica, garam, dan beberapa jenis rempah-rempah lainnya yang membuat lidah menari-nari. Karena masakan masih terus dianggap kurang rempah maka untuk melengkapi agar sesuai dengan selera, pamanku minjam duit dari tetangga. Masakan pamanku semakin enak. Maka rame-rame para tetangga untuk meminjamkan duitnya untuk membeli rempah-rempah dan penyedap rasa, tentu mereka juga kebagian melahap dan menyantap makanan hasil masakan didapur kecil itu. Setiap hari ada pesta pora. Ada pesta untuk paman Liem, paman Bob, paman Edy. Celakanya anak-anak paman Harata juga bikin pesta sendiri-sendiri, dan semuanya pinjam duit tatangga.
Karena pamanku yang lain kagak kebagian kecipratan pesta maka mereka ngambek dan marah-marah sampai akhirnya meminta paman Harata untuk lengser keprabon. Pengganti Paman Harata, yakni Paman Propesor Kalkulus suka nongkrong di dalam dapur kecil ini. Bukan untuk masak nasi atau bakar ikan asin tapi sibuk ngurus piring kotor sehabis "pesta pora" tadinya. Untuk membuat dapur kita lebih canggih, kata pamanku ini, kita harus melakukan alih teknologi. Jadilah di dapur kecil ini punya satu mesin cuci itupun kreditan. Belum semua piring bersih tercuci, masuklah Paman Gober ke dalam dapur kecil ini tertatih tatih ditenteng oleh anaknya. Akibat kurang hati-hati, dan masih bercelana pendek bangun pagi tak terus mandi, dan belum minum kopi secukupnya. Kakinya nyerempet susunan piring sehingga piring-piring itu jatuh terpecah berkeping keping. Paman Gober berjanji lain kali akan "melihat" dengan hati hati. Apa boleh buat, anak-anak belum pada makan, anak-nak semakin lapar.
Giliran selanjutnya menjadi kepala koki di dapur kecil kami adalah seorang wanita: Tante Margotwati. Mungkin karena selama ini para "lelaki" tidak begitu "jantan" sebagai kepala koki. Tante Margot berteori bahwa untuk membaut masakan lebih sedap harus dengan diam-diam seribu bahasa, mungkin supaya ludahnya tidak kecipratan. Kembali Tante Margot ikut "tradisi" minjem duit juga sekaligus memunguti "pecahan beling" tersebut dan menjualnya ke pasar loak.
Sampailah dapur kami pada zaman "clingak clinguk" habis nggak ada lagi masakan dan piring untuk makan. Hampir semua pecah dan belingnyapun habis dijual ke pasar loak. Di sudut sempit nan gelap dapur kecil ini, Paman Yoko Ono termenung, anak-anak masih nangis merengek-rengek minta makan, sambil mengisap isap tulang belulang bekas pesta pora tetangga. Atap rumah bocor, selokan meluap, rumah kebanjiran, dinding retak karena gempa, air laut yang sudah sampai kedapur. Akh aku kagak tau apa tradisi minjam duit dari tetangga masih harus diteruskan? Terus mau pinjam dari tetangga mana? "kiri" atau "kanan"? Tetangga yang pake "sorban" atau yang berpakean "cowboy". Sudahlah Paman, tidah usah bermimpi untuk berpesta. Kami juga tidak mengharapkannya. Yang kami minta hanyalah sesuap nasi untuk mengganjal perut yang semakin keroncongan. Sesudah ini kalau masih ada minyak tanah di dapur buatkan kami lampu teplok supaya bisa membaca dimalam hari. Supaya kami bisa belajar memperbaiki dapur yang sudah reot ini.
Sunday, August 20, 2006
Saturday, August 19, 2006
Efek Undang-undang Syariah
Lagi marak membuat undang-undang syariah. Beberapa kabupaten di Indonesia membuat undang-undang yang memakai nama yang berbeda-beda tetapi pada prinsipnya isinya adalah melakukan system syariah Islam dengan penerapan hukum positip.
Saya melihat indikasi ini adalah ketakutan teman-teman yang beragama Islam. Syariah Islam disodorkan sebagi satu solusi pada penyakit sosial dan semakin kurangnya penerapan kehidupan keagaman pada umat Islam. Di sisi lain ini juga membuat preventif perpindahan umat Islam menjadi pemeluk agama lain. Ironisnya, keadaan ini akan membuat pandangan orang terhadap agama Islam semakin miring. Sejak Perang Salib hingga 11 September 2001 gaung represif yang dilakukan oleh sebagian umat Islam telah membuat agama ini semakin tidak menarik simpati umat.
Seharusnya agama Islam yang jauh lebih tua dan lebih agung dari negara ini tidak bersandar pada kekuatan undang-undang positif satu negara. Kalau besok-besok undang-undangnya diganti, apa dogma agamanya harus direvisi lagi? Apalagi yang namanya undang-undang harus dibarengi dengan enforcement, ini membuat Syariah Islam menjadi satu hal yang dipaksakan. Essence agama adalah persuasi. Iman tidak bisa dipaksakan, hanya bisa dipupuk ditumbuhkan dengan argumentasi. Walaupun termasuk manipulasi emosi, agama tidak bisa dan tidak adil jika dikembangkan dengan kekuasaan, intimidasi dan pemaksaan. Kalau kita mau memasuki dunia yang lebih manusiawi, lebih demokratis maka agama harus dilarang melakukanpemaksaan. Agama harus mengembangkan kemampuan berkomunikasi, berargumentasi dan persuasi.
Memang betul proses pembuatan Undang-undang Syariah di Indonesia telah melalui prosedur yang sangat demokrasi. Tetapi harus juga disadari bahwa undang-undang itu tidak biasa parsial. Hanya melindungi dan aplikatif pada sebagian anggota masyarat.
Kasihan juga pada sebagian Umat Islam yang benar-benar tulus melaksanakan ibadahnya. Keadaan ini bukannya membuat Islam semakin cemerlang sebagai 'the religion peace". Tetapi sebaliknya membuat agama Islam semalin sukar dalam penyiarannya, akibat ulah sebagaian umatnya yang takut melihat penurunan angka di statistik semata.
Saya melihat indikasi ini adalah ketakutan teman-teman yang beragama Islam. Syariah Islam disodorkan sebagi satu solusi pada penyakit sosial dan semakin kurangnya penerapan kehidupan keagaman pada umat Islam. Di sisi lain ini juga membuat preventif perpindahan umat Islam menjadi pemeluk agama lain. Ironisnya, keadaan ini akan membuat pandangan orang terhadap agama Islam semakin miring. Sejak Perang Salib hingga 11 September 2001 gaung represif yang dilakukan oleh sebagian umat Islam telah membuat agama ini semakin tidak menarik simpati umat.
Seharusnya agama Islam yang jauh lebih tua dan lebih agung dari negara ini tidak bersandar pada kekuatan undang-undang positif satu negara. Kalau besok-besok undang-undangnya diganti, apa dogma agamanya harus direvisi lagi? Apalagi yang namanya undang-undang harus dibarengi dengan enforcement, ini membuat Syariah Islam menjadi satu hal yang dipaksakan. Essence agama adalah persuasi. Iman tidak bisa dipaksakan, hanya bisa dipupuk ditumbuhkan dengan argumentasi. Walaupun termasuk manipulasi emosi, agama tidak bisa dan tidak adil jika dikembangkan dengan kekuasaan, intimidasi dan pemaksaan. Kalau kita mau memasuki dunia yang lebih manusiawi, lebih demokratis maka agama harus dilarang melakukanpemaksaan. Agama harus mengembangkan kemampuan berkomunikasi, berargumentasi dan persuasi.
Memang betul proses pembuatan Undang-undang Syariah di Indonesia telah melalui prosedur yang sangat demokrasi. Tetapi harus juga disadari bahwa undang-undang itu tidak biasa parsial. Hanya melindungi dan aplikatif pada sebagian anggota masyarat.
Kasihan juga pada sebagian Umat Islam yang benar-benar tulus melaksanakan ibadahnya. Keadaan ini bukannya membuat Islam semakin cemerlang sebagai 'the religion peace". Tetapi sebaliknya membuat agama Islam semalin sukar dalam penyiarannya, akibat ulah sebagaian umatnya yang takut melihat penurunan angka di statistik semata.
Tuesday, July 04, 2006
Jusuf Kalla dan Urusan Syahwat
Saya kaget dengan pemberitaan The Jakarta Post 06/29 di forum pertemuan resmi dimana wartawan2 domestik maupun luar negeri berkumpul. Artikel dengan judul "VP moots using women in Arab tourism push" memberikan kesan bahwa Wakil President Jusuf Kalla mendukung dan bahkan mendorong perempuan-perempuan Indonesia untuk "dikawin kontrak" oleh lelaki Arab - supaya ada perbaikan keturunan. Apakah JK tidak tau kalo "kawin kontrak" ini cuma akal-akalan lelaki Arab hidung belang - yang kagak mau bayar mahal untuk ongkos syahwatnya!!
Monday, May 29, 2006
Gunung Merapi Meletus
Beberapa hari yang lalu terjadi gempa vulkanik di Jogjakarta. kasihan sekali mereka, setahu saya kebanyakan penduduk disekitar Merapi adalah petani. Terus di Sacramento Bee pada tanggal 28 May 2006, mengekspose berita ini di headline halaman pertama. Untunglah sudah banyak bantuan yang datang dari negara-negara tetangga dan sahabat. Tetapi pada kemana negara-negara Islam? Negara-negara Timur Tengah? Arab Saudi, dll? Tetapi mengapa mereka; negara-negara barat yang sekuler,kristen dan kafir; yang pertama tergopoh-gopoh ingin segera membantu musibah di Indonesia yang konon dekat dengan kebudayaan Arab. Mengapa negara-negara Arab yang kaya selalu lamban bahkan tidak membantu?
Ah, kali budaya kita orang Asia yang pada cuek kalau masalah kagak bersentuhan dengan diri sendiri, apalagi kalau masalah itu kagak punya potensi bermasalah dengan kampung tengah. Buktinya saya sendiri belum telp sanak famili di Indonesia menanyakan apakah mereka sehat walafiat. Tadi pagi istriku tunjukin koran dari rumah sakit tempat dia kerja. Katanya dia dibeliin temannya dari department lain karena adanya berita tentang Indonesia. "Apa keluarga mu selamat?", tanyanya ke istriku. "Tidak tau", "Apa sudah call mereka?", desaknya lagi, juga istriku hanya bisa geleng kepala. Duh si bule yang lahir dan dibesarkan di negeri super cuek dan sekuler ini masih sempat-sempatnya mikirin negeriku. Boro-boro aku dengan isriku.
Tapi tunggu dulu, mungkin saudara-saudara dari negara-negara Islam udah bantu kali, tapi mereka kagak mau diekspose besar-besaran seperti bantuan negara-negara barat. Maklumlah bagi kaum muslimin saling membantu sudah berjalan sendirinya dalam sendi kehidupan dan syariat, tanpa harus digembar-gemborkan. Sementara pihak barat memang getol menggembar gemborkan kebajikan mereka, yang sebenarnya adalah agenda tersembunyi. Ceunah !
Tapi kok saya punya ide yang berbeda. International community selalu memberikan bantuan kemanusiaan kepada korbannya, siapapun mereka. Mereka tidak bertanya dulu apa korban seagama, se-ethnis dan pertimbangan picik lainnya. Berlainan dg tuduhan 'kristenisasi' melalui pembagian Indomie yang sering dituduhkan. Seharusnya bantuan kemanusiaan diberikan secara tulus dan rela hati oleh semua orang yg berperikemanusiaan. Bantuan kemanusiaan adalah masalah nurani dalam tindakan humanis dalam bukan sekedar ritus religi.
Isriku punya teori seperti ini, "Umat Islam percaya akan nasib setiap orang sudah ditentukan sebelum dia lahir. Apakah dia hidup makmur, hidup sengasara, kena musibah atau tidak, apakah seseorang masuk sorga atau neraka. Menolong orang yang sudah ditakdirkan untuk kena musibah dianggap menentang Allah!". Ach, istriku sok tau. Tau apa dia dengan filosofi keagamaan.
"Ingat ketika Tsunami tiba?", tambah istriku, dia nggak mau kalah, "Mufti Saudi Arabia segera mengeluarkan pernyatan bahwa kesemuanya ini bukti bahwa Allah mengutuk kaum kafir! Soalnya pada hari pertama sesudah Tsunami yg dikabarkan terkena musibah adalah Sri Lanka dan Thailand yg jelas dianggap sebagai kafir - makanya pantaslah kalau kena tulah! Begitu juga ketika gempa bumi raksasa melanda kota Bam, Iran. Saudi Arabia yg begitu dekat tidak memberikan bantuan karena korbannya adalah pengikut ajaran Shi'ite!" Aku terkagum-kagum dengan istriku, yang kukira dia hanya tau perban dan jarum suntik, ternyata doi juga baca koran. Tapi kok ide doi berbau provokasi di tengah tengah bencana kieu, kumaha ieu teh?
Jangan khawatir istriku yang cantik, "Arab pasti membantu, mungkin bulan depan, mungkin juga dua bulan lagi, atau tahun depan. Saya akui dech "orang-orang kafir" memang selalu paling cepat dalam mengulurkan tangan. Entah apa yang membuat mereka begitu rasional? mungkinkah karena sebenarnya "kafir" maupun "non kafir" sama -sama di ciptakan Tuhan? sama - sama manusia sehingga solidaritas kemanusiaan lebih penting dibanding solidaritas keyakinan? Percaya deh, ketika umat manusia apapaun suku bangsa dan latar belakang keyakinannya saling bahu membahu untuk memberikan pertolongan, dunia ini menjadi lebih indah untuk ditempati."
Monday, May 01, 2006
Pendakian Gunung
Einstein yang mengatakan bahwa hidup bagi dia adalah seperti mendaki gunung yang kita tak tahu puncaknya. Hiburannya bukan dengan mencapai puncak gunung, hiburannya diperoleh ketika kita beristirahat sejenak dan melihat indahnya pemandangan dari ketinggian. Setelah itu, kita mendaki lagi.
Subscribe to:
Posts (Atom)